[CERPEN] Bintang di Ujung Pelangi



Bintang di Ujung Pelangi
Oleh: Aida Khurriyatul Tri Marwa



           Setelah berkutat sekian lama di dapur, aku membutuhkan penyegaran dan melanjutkan aktivitasku sebelumnya yang sempat tertunda. Kulangkahkan kaki dengan hati-hati menapaki tanah yang basah akibat guyuran hujan semalam. Rumput-rumput yang tumbuh tinggi membasahi celana training dan kakiku yang beralaskan sandal jepit. Udara yang sejuk menemaniku menuju puncak bukit yang landai. Pemandangan yang sangat indah bahkan tak dapat dilukiskan dengan kata-kata menyambut kedatanganku. Betapa agung kuasa-Nya atas penciptaan karya yang luar biasa cantik ini. Kepenatan yang kurasakan sebelumnya kini hilang entah ke mana, terbayarkan dengan pemandangan yang disuguhkan di depanku ini. 


Ilustrasi: favim.com

  Kupejamkan mata, menghirup udara segar ini mengisi  paru-paruku, meresapi angin yang bermain-main dengan rambut hitam panjangku dan menikmati nyanyian burung yang terdengar merdu. Benar-benar perpaduan yang membuatku merasa damai.
Tiba-tiba aku tersentak dengan memori di dalam ingatanku hingga aku terbelalak.  Aku kembali kembali mataku dan  mengerang lirih, “Oh tidak. Jangan sekarang, please.” Kuhalau memori itu dengan menggelengkan kepalaku, namun tak berhasil.
Samar-samar ku mendengar langkah kaki orang yang membelah lautan rumput berembun di belakangku. Tanpa aku menoleh, aku tahu siapa dia. Entah mengapa memori itu behasil membuatku lebih peka terhadap apa yang terjadi di sekelilingku. Aku berusaha menenangkan diriku dengan menghirup udara dalam-dalam walaupun memori itu masih menggelayut di pikiranku.
Kenapa nggak sarapan sama yang lain, Dek?” Kata suara itu beberapa meter di sampingku. Hanya kepadaku, dia dan senior termasuk pelatih yang lain memanggilku “adik”. Padahal teman-teman yang seangkatan denganku banyak. Mungkin karena aku yang paling dekat dengan mereka dan kerap menjadi ketua, PJ acara, maupun sekretaris di acara-acara pramuka di sekolah.
Aku menggelengkan kepalaku perlahan, “Nggak, Kak. Masih belum laper.”
Aku menoleh padanya, “Kakak sendiri kenapa nggak sarapan sama yang lain?”
Kak Ardi mengacuhkan pertanyaanku dan memberikan pertanyaan yang lain, “Masih mikirin dia?”
Walau aku sudah menduga dia akan bertanya mengenai itu, tetap saja aku sedikit tersentak. Aku diam membisu dan memandang tirai embun yang terbentuk pada daun-daun di salah satu pohon.
Kak Ardi berjalan mendekatiku dan menyampirkan jaket hitamnya di pundakku, “Kenapa nggak dipakai jaketnya? Di sini dingin.”
Aku memasang wajah protes. Dia sebenarnya sudah tahu kalau aku memang tidak suka memakai jaket bila sudah berada di tengah-tengah alam pegunungan. Bukannya aku merasa tidak dingin, bukan, aku hanya suka menikmati udara yang sejuk dan dingin merasuk ke dalam kulitku. Aku hendak melepaskan jaket itu namun Kak Ardi menolak tegas dalam pandangannya, perintah yang tak dapat dibantah. Sama seperti dia… ah dia… Aku memejamkan mata.
“Sebegitu berpengaruhnya dia dalam kehidupanmu, Dek.” Katanya seraya menengadahkan kepala menghadap langit dan memejamkan mata.
Aku langsung menatap tajam padanya, ingin menghujaninya dengan kata-kata sarkas. Mulutku sudah terbuka namun tak sepatah katapun yang meluncur. Sepertinya aku memang tidak bisa marah pada orang yang sudah kuanggap kakakku ini. Aku membuang muka dan napas dengan kesal.
“Sudah 2 tahun berlalu, Dek. Kamu masih ada dalam bayang-bayang memori itu. Sampai kapan kamu akan terus seperti ini?” Tanyanya seraya memandangku dengan mata yang disipitkan.
Aku menghirup napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Entahlah, Kak. Aku juga bingung. Entah mengapa memori itu selalu menghantuiku sekuat apapun aku menghapusnya. Tiap kali aku menikmati indahnya langit, bintang, hujan, dan pelangi, ingatan tentang dia selalu muncul.”
“Apakah itu artinya kamu masih mengharapkan dia? Masih mencarinya? Dan masih mencintainya?”
“Aku juga tidak tahu, Kak. Aku ingin sekali melupakannya, lebih tepatnya melupakan apa yang telah ia lakukan terhadapku.”
Pandanganku tertuju pada pada kebun mawar di bawah kaki bukit. “Aku ingat saat ia pernah memberiku setangkai mawar merah.” Aku menghela napas berat. “Tapi aku baru sadar akan makna di baliknya. Mawar merah memang sangat menawan dan menggiurkan. Namun jangan lupakan duri-duri yang melekat pada tangkainya. Ia memberiku mawar itu dengan menutupi duri-durinya seakan-akan dia memberiku cinta yang murni dengan menutupi penderitaan yang akan dia berikan padaku.” 


Ilustrasi: fanpop.com
 
Aku tersenyum miris mengingatnya. Begitu juga dengan Kak Ardi.
“Hei, lihat! Ada pelangi!” Seru Kak Ardi menunjuk ke atas bukit yang berada di seberang.
Aku langsung melihat arah yang ditunjuknya.
“Sudah lama sekali ya tidak melihat pelangi.” Katanya seraya tersenyum.
Ya…. Sudah lama sekali memang aku tidak melihat pelangi sejak... Ah lagi-lagi memori itu muncul kembali.
“Masih suka pelangi kan, Dek?” Tanya Kak Ardi seraya menoleh padaku.
Aku tersenyum mendengar pertanyaan itu, “Entahlah, Kak. Mungkin aku masih menyukai pelangi, mungkin juga tidak.”
Spontan Kak Ardi menoleh padaku, “Kenapa seperti itu?” Alisnya saling bertaut. “Bukannya kamu sangat menyukai pelangi? Kamu juga pernah bilang kalau pelangi itu indah karena memiliki warna-warna yang berbeda namun tetap membentuk ukiran pelangi yang indah.”
“Apa itu, Kak? Apakah itu bintang?” Tanyaku sembari menunjuk sesuatu yang berkilau di ujung pelangi. Aku sempat berpikir itu bintang, tapi apa memang masih ada bintang pada jam 6.00 pagi seperti sekarang ini?
“Entahlah.” Katanya dengan mengedikkan bahunya. “Masa itu bintang sih?”
“Anggap saja itu bintang. Aku merasa berkaca pada bintang di ujung pelangi itu. Dari luar pelangi itu memang indah. Muncul setelah hujan dan memberi suguhan pemandangan yang manis. Tapi tidakkah Kakak sadar kalau bentuk pelangi itu senyum terbalik? Itu ibarat aku, Kak.” Kataku lirih. “Mungkin dari luar aku nampak baik-baik saja, namun siapa sangka jauh di dalam diriku terdapat luka bernanah yang masih menganga! Bahkan aku berada di ujung pelangi itu sendiri!”  Seruku dengan nada yang semakin meninggi.
“Kamu memang sangat dekat dengan kami, Dek. Bercanda tawa dengan teman-teman yang lain, para junior dan senior, bahkan para pelatih juga, namun kau serasa jauh dan tak dapat dijangkau. Jangan terlalu larut dalam memori itu. Waktu atau bahkan dia sudah membentuk dirimu semakin mengurung diri dan...”
Belum sempat Kak Ardi menyelesaikan kalimatnya, aku langsung menyela, “Aku ingin terbebas dari memori akan dirinya. Aku selalu berusaha, Kak, selalu! Tapi selalu gagal!” Seruku hampir berteriak. “Apa karena namaku dengannya ada kaitannya, Kak? Aku sangat menyukai langit, yang ternyata juga merupakan nama yang disandangnya, LANGIT BIMASAKTI! Aku juga sangat menyukai bintang, yang ternyata juga nama yang kusandang, BINTANG ANDROMEDA!” Aku diam sejenak. Memandang wajah Kak Ardi. Rambutnya yang sedikit ikal bergerak dipermainkan angin. Aku mengerjapkan mata berulangkali, menahan dorongan lapisan bening yang mendesak keluar. “Bahkan dia pernah berkata bahwa langit tak akan ada artinya bila tidak ada bintangnya yang bersinar. Walaupun langit ditinggalkan bintangnya, tapi langit tidak akan pernah meninggalkan bintangnya. Tapi nyatanya apa, Kak?! Betapa bodohnya aku yang begitu mudahnya percaya pada bualannya itu!”
Melihat emosiku yang semakin memuncak, Kak Ardi merangkulku. Mendekap kepalaku ke dadanya.
“Menangislah kalau memang kau ingin menangis, Dek. Menangislah jika itu yang kamu butuhkan untuk melepaskan beban yang kamu alami. Menangis bukan pertanda lemah.” Ucapnya seraya membelai puncak kepalaku.
Selama dua tahun lamanya, baru kali ini aku bisa menumpahkan segala yang kurasakan dalam tangisku. “Aku sadar kalau aku masih mencintainya, Kak. Sangat. Aku ingin sekali melupakannya, namun aku tak bisa. Kenapa dia selalu melekat dalam ingatanku? Apakah aku salah jika aku sangat dan masih mencintainya hingga detik ini, Kak?” Kataku di sela-sela tangis yang terus menerus berderai.

Ilustrasi: deviantart.net

  Nggak, Dek. Kamu nggak salah jika masih mencintainya. Hanya saja kamu mencintai orang yang salah.”
Mencintai orang yang salah? Apakah ada tolak ukur bahwa orang yang kita cintai adalah orang yang salah?
Dia memang membohongimu, menyakitimu, meninggalkanmu. Tapi tidak hanya kamu, kami juga merasa kehilangan atas dirinya. Dia pergi meninggalkan kita dengan menyisakan akibat dari kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya. Benar-benar tidak bertanggungjawab. Tapi jangan biarkan dia membawa tawa, senyum, semangat, dan ceriamu, Dek. Tetaplah menjadi Bintang yang kami kenal. Senantiasa bersinar menghangatkan kami semua.” Kata Kak Ardi seraya menatap ke dalam kedua mataku. Aku tahu arti tatapan itu. Tatapan yang menyiratkan arti lebih dari sekedar hubungan kakak-adik dan aku tidak bisa membalas tatapannya.

Komentar

Postingan Populer