[CERPEN] Mawar Untuk Saka
Mawar
untuk Saka
Oleh: Inggrit Nina Ardiani
Oleh: Inggrit Nina Ardiani
“Mohon
perhatian, sesaat lagi kereta api Pasundan akan tiba di stasiun Bandung. Bagi
anda yang akan mengakhiri perjalanan di stasiun Bandung kami persilahkan untuk
mempersiapkan diri. Periksa dan teliti kembali barang bawaan anda jangan sampai
ada yang tertinggal. Untuk keselamatan anda tetaplah berada di tempat duduk
sampai kereta berhenti dengan sempurna. Terima kasih atas kepercayaan anda
menggunakan jasa layanan kereta api Indonesia, sampai jumpa pada perjalanan
berikutnya.” Pengumuman yang terdengar di seluruh gerbong itu membangunkan
Laras dari tidurnya dan ia langsung membereskan barang-barangnya dan memakai
lagi jaket parka yang tadi ia lepas untuk ia gunakan sebagai bantal.
“Loh
mbak Laras kok tiba-tiba disini, kok nggak ngabarin saya dulu? Kalo ngabarin
kan bisa saya jemput di stasiun” Kata Iwan dengan logat jawanya yang kental
sambil menuntun Laras ke salah satu meja. Iwan adalah tetangganya di Solo yang
putus sekolah waktu SMA, dan Laras lah yang membawa Iwan ke Bandung dan
mencarikan pekerjaan untuk Iwan.
“Kan
deket, Wan.” Kata Laras tersenyum simpul.
“Ya
nggak papa toh mbak. Biar ada yang nemenin, zaman sekarang itu laki-laki nggak
pernah mikir panjang mbak, nanti kalau ada apa-apa kan juga Budhe yang
bingung.”
“Kamu
kan juga laki-laki, Wan.” Laras terkekeh.
“Waduh,
saya lupa kalau saya itu laki-laki.” Iwan tertawa sambil menepuk jidatnya
seakan lupa.
“Ya sudah, Mbak. Saya buatkan minum dulu.” Lanjutnya kemudian
berlalu.
Laras
mengambil rokok dari dalam ransel miliknya dan menyalakan rokoknya kemudian
dihisapnya pelan. Sambil menyelami pikirannya, Laras menjejalkan earphone ke telinganya. Enam tahun yang
lalu di Kota Bandung semuanya di mulai dan di tempat ini pula semuanya
berakhir. Tanpa Laras sadar, ia
meneteskan air mata untuk pertama kalinya setelah enam bulan berlalu. Saat ia sedang asyik menyelami pikirannya
tiba-tiba seseorang mencabut paksa
earphone yang ada di telinga kanannya. Kemudian dengan refleks ia menoleh
dan kaget dengan apa yang ia lihat saat ini.
Saka
duduk di depannya sambil menampakkan cengiran khasnya, seakan ia tidak pernah
bersalah, seakan peristiwa enam bulan yang lalu itu bukan hal penting. Saka tetaplah Saka, tidak ada yang berubah
dari Saka yang dulu miliknya. Dengan banyak peluh yang ada di dahinya Laras
bisa menduga apa yang Saka habis lakukan.
“Habis
main drum?” Tanya Laras menghilangkan
suasana canggung yang tiba-tiba.
“Jadi
itu yang ada di pikiran kamu setelah enam bulan kita nggak ketemu?”
Laras
terkekeh malu, “Aku nggak tau mau tanya apa, ada beberapa hal yang memang aku
ingin tanyakan. Tapi aku nggak mau ngebahas itu sekarang.” Jawabnya sambil
mematikan rokok yang hanya tersisa puntungnya.
“Kenapa
kamu mutusin aku? Kenapa kamu tega? Apa kamu selingkuh? Siapa yang jadi
selingkuhan kamu? Anak band brengsek
semua, gampang banget selingkuh. Itu kan yang mau kamu tanyain ke aku?” tanya
Saka to the point.
Saka
beranjak dari kursinya kemudian menarik tangan Laras yang membuatnya terpaksa
harus mengikuti kemauan Saka. Saka berjalan
kearah motornya yang ia parkir disamping warung, kemudian menyerahkan helm kepada Laras. Laras pun
menurut apa yang Saka perintahkan. Dengan kecepatan sedang motor Saka melaju ke
arah puncak, saat di tengah perjalanan ia mampir ke toko bunga, dan membeli
satu tangkai mawar yang kemudian ia berikan untuk Laras.
Sumber: pixabay.com |
“Aku
nggak suka bunga.” Kata Laras sesampainya mereka di puncak.
“Aku
tahu, itu bukan buat kamu. Tapi buat aku.” Tandasnya membuat Laras heran.
“Ngapain
kamu bawa aku kesini?”
“Lihat
bintang. Percaya, nanti aku akan jadi bintang. Jauh, susah dijangkau. Bahkan
kamu nggak bisa menjangkau.”
“Bintang
kan memang nggak bisa dijangkau, tapi kamu masih disini. Belum kelangit.”
“Kamu
tidak tau saja, aku sudah terbang dari jauh hari.”
“Kok
tumben puitis gitu. Kayak bukan Saka. Ini mawar, katanya untuk kamu.” Laras
menyerahkan mawar yang sedari tadi ia pegang.
“Aku
sayang kamu, Laras. Sejak tujuh tahun lalu dan sampai nanti akan tetap begitu.”
Saka mengamati wajah Laras dengan seksama, kemudian tersenyum. Dengan lembut ia
menyelipkan poni panjang Laras ke belakang telinga. Saka mengecup kening Laras
dan kemudian mencium bibirnya pelan, mereka menyelami rasa bersama,
mengungkapkan rindu yang belum sempat di ungkapkan. Rasa hangat mengisi
hatinya. Saka miliknya kembali lagi bersamanya.
Saat
Laras sedang menikmati waktunya bersama Saka tiba-tiba ada seseorang
menepuk-nepuk pelan pundaknya yang membuatnya terlonjak kaget. Laras
mengerjapkan matanya agar bisa melihat lebih jelas dan mendapati dirinya yang
terbangun dan masih di dalam kereta yang menuju ke Bandung. Di ujung matanya ada
air mata yang mengering. Ini sudah kesekian kalinya ia menangis, karena kabar
yang ia terima kemarin sore harus membuatnya langsung bergegas pergi ke
Bandung. Kabar yang tidak ingin ia dengar, kabar yang tidak seharusnya ia
dengar untuk saat ini. Sila, adik Saka yang kemarin menelponnya dan ia bilang
bahwa Saka meninggal dunia akibat penyakit Lupus yang ia derita. Laras bahkan
tidak tau kalau Saka memiliki penyakit Lupus.
Sesampainya
di rumah Saka, orang tua Saka mengatakan kalau Saka sudah di kuburkan di
pemakaman dekat kompleks. Tak ingin berlama-lama di rumah Saka, Laras langsung
pergi ke tempat pemakaman di mana Saka dikubur.
Sambil membawa satu buket bunga mawar yang ia beli di perjalanan. Laras
tahu apa yang ia mimpikan di kereta tadi, Saka hanya ingin berpamitan
kepadanya. Dari Sila juga Laras tahu apa
alasan Saka untuk mengakhiri hubungan mereka enam bulan yang lalu. Disinilah
Laras mengeluarkan apa yang ia tahan dari kemarin sore. Laras menangis
sejadi-jadinya.
“Sayonara
Saka, it’s been nice to love you”
Laras beranjak dari tempatnya kemudian melangkahkan kakinya keluar pemakaman.
***
Komentar
Posting Komentar