O.H.Supono - Pelukis Surealis Ekspresionis
|
pameran tunggal di Galeri Merah Putih, kompleks Balai Pemuda Surabaya, belum lama ini. Umumnya, stigma masyarakat terhadap seniman adalah sosok yang tidak hirau terhadap keluarga, bahkan diri sendiri, karena perhatian dan konsentrasinya lebih ditujukan pada penciptaan sebuah karya. Tapi, dari O.H. Supono, kita dapat belajar banyak, bagaimana seorang seniman mampu menjadi ayah yang baik, sanggup memelihara kedekatan dengan keluarga, serta menumbuhkan apresiasi yang besar terhadap karya-karyanya.
Semasa hidup, O.H. Supono pernah tinggal dalam tiga lingkungan berbeda, yakni Surakarta, Bali, dan Surabaya. Dengan begitu, tentu saja interaksi dirinya dengan lingkungan-lingkungan tersebut semakin kompleks dalam memberikan pengaruh terhadap kesenilukisannya (gaya). O.H. Supono belajar di Jurusan Seni Rupa Akademi Kesenian Surakarta pada 1957-1959, yang kurikulumnya menekankan pada aspek-aspek gaya pribadi, cinta terhadap lingkungan, dan kehidupan rakyat kecil untuk mendapatkan corak Indonesia baru. Hal tersebut sangat berkesan bagi O.H. Supono. Sehingga, dia aktif berkarya dengan kecenderungan gaya ekspresionisme figuratif. Dia sadar bahwa kesenian adalah ekspresi jiwanya. Sehingga, dia belajar dari karya-karya pelukis senior maupun seniman dunia yang mengacu pada suatu kreativitas. Setelah mendengar bahwa pelukis dapat tinggal dan hidup dari lukisan di Bali, pada 1959 O.H. Supono pindah ke Pulau Dewata. Awalnya, dia bergabung dengan Sanggar Janur Kuning, Abian Kapas, bersama Solikhin Hasan, Tedja Suminar, dan Mardian. Selanjutnya, dia pindah ke Sanggar Kedaton Ubud dan dekat dengan pelukis Fajar Sidik, Bambang Soegeng, Alimin, Rusli Hakim, Rudiat, dan Ipe Ma'ruf. Sering pelukis-pelukis lain juga berkunjung ke sanggarnya, seperti Nashar, Rusli, Sudarso, dan Affandi. Saat-saat demikian secara tidak langsung memberikan wawasan yang lebih luas bagi kesenilukisan O.H. Supono dengan gaya lukisan ekspresionisme. Saat itu dia mengagumi karya Soutine.
Sekitar tahun 1961, O.H. Supono kembali ke Surakarta, tapi kemudian tinggal di Surabaya. Saat itu kecenderungan pelukis, selain melukis, diskusi, dan pameran, adalah menyenangi keterlibatan penuh gejolak semangat serta menyatu dengan kehidupan yang berat dan sedih. Sebab, saat itu merupakan masa transisi yang berat bagi bangsa Indonesia. Pada 17 Agustus 1963, lahirlah Gerakan Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Sebuah pergerakan yang bertujuan melawan pemaksaan ideologi komunisme. Gerakan Manikebu mengakibatkan pelukis pada masa 1950-an memilih untuk membebaskan karya seni dari kepentingan politik tertentu. Era ekspresionisme pun dimulai.
Lukisan tidak lagi dianggap sebagai penyampai pesan dan alat propaganda politik sebagaimana didengungkan Lekra, melainkan lebih sebagai sarana ekspresi pencipta. Menilik gaya karya-karya O.H. Supono, terdapat berbagai bahasa estetika. Sangat mudah menandai karya-karya O.H. Supono dalam setiap periode karyanya. Dia adalah sosok pelukis yang piawai dengan beragam teknik melukis. Dalam suatu periode, dia bisa sangat dekat dengan surealisme biomorfiks nonobjek serta surealisme figuratif. Tapi, di periode berikutnya dia dapat berubah ke ekspresionisme atau ke pointilisme atau penggabungan keduanya. Namun, dari seluruh rangkaian karya O.H. Supono, kita tetap bisa melihat karakter gaya aslinya. O.H. Supono pernah berkata, "Buat saya, menganut gaya tertentu bukanlah suatu target, juga berpindah-pindah gaya bukanlah keinginan yang disadari. Saya tidak tahu tentang aliran yang saya pegang. Orang lain yang memberikan penilaian. Sebab, saya bukanlah kritikus, seorang ahli, atau filsuf. Yang jelas, aliran itu lahir begitu saja. Ketika sudah jenuh, saya pindah ke gaya lain meskipun tidak tahu gaya apa itu. Melukis itu tidak usah memikirkan gaya apa atau berargumentasi, juga bukan berfilsafat. Melukis adalah berekspresi, apa yang dirasakan dan dikehendaki. Jadi, bukan bertujuan membawa aliran tertentu."
Karya O.H. Supono pada 1959-1984 dapat kita kelompokkan dalam tiga gaya, yakni ekspresionisme, kubisme, dan surealisme. Sewaktu dia tinggal di Surakarta dan Bali, keadaan ekonomi yang terbatas merupakan masa transisi bagi pembentukan keseniannya. Saat yang demikian merupakan perjalanan panjang dan beban yang mengimpit. Semua itu membuat O.H. Supono ingin berontak, diwakili goresan-goresan ekspresif, memandang dirinya dan objek lukisannya melebur menjadi satu, tidak ada jarak. Objek-objek sebagai media ekspresi dengan figur yang papa dan sarat beban.
Kemanusiaan dan humanisme semasa berada di Bali mencari "sosok" dirinya pada sosok Ayam Mati (1966). Goresan-goresan liar pada sebidang kanvas menggambarkan ayam yang terkulai, dadanya terbuka. Hal tersebut sesuai dengan teori ekspresionisme yang mengatakan bahwa emosi atau sensasi dari dalam itu dihubungkan dengan pathos, kekerasan, atau tragedi. Terkait dengan hal tersebut, Van Gogh merupakan salah seorang penganutnya. Objek demi objek yang dia lukis pada masa itu, gejala krisis kemanusiaan menjadi perhatiannya. Dia mencoba terlibat atas martabat manusia sekaligus dirinya dalam bidang seni lukis. Manifestasi tersebut membuat O.H. Supono memandang seorang model gadis Bali bukan dari sisi keindahan. Gadis Bali itu dibuat suram dan digores-gores wajahnya sehingga tidak proporsional untuk mendapatkan watak yang diinginkan (Potret Orang Bali, 1966).
Gaya Kubisme
Selang beberapa saat kemudian, masih sekitar 1966, lukisan-lukisan O.H. Supono cenderung bergaya kubisme meskipun masih terasa korelasi dengan gaya ekspresionisme. Ekspresionisme melukiskan emosi dan sensasi dari dalam. Sedangkan kubisme memandang dunia secara analitis dengan bentuk yang geometris. Meskipun menghasilkan karya beraliran kubisme, ciri karya O.H. Supono berbeda dengan teori kubisme yang dilandasi teori tentang bentuk dan ruang. Anggapannya, objek adalah geometris yang abstrak. Menurut O.H. Supono, memandang dunia tidak mutlak dengan analisis, apalagi dalam kesenian. Suatu karya seni bukanlah hasil pengamatan dunia secara objektif semata yang lepas dari sensasi dan perasaan. Misalnya terlihat dalam Topeng (1966). Meskipun dengan pembagian bidang yang geometris dan analitis, bagi dia topeng-topeng tersebut mengingatkan masa kecilnya sewaktu menonton kesenian tradisional. Demikian juga figur Kambing (1966) yang dia akrabi sewaktu tinggal di Surabaya. Seperti gaya ekspresionisme, dalam gaya kubisme O.H. Supono masih membutuhkan objek-objek dari alam, juga suasana-suasana tertentu untuk membangkitkan gairah melukis. Bagi dia, objek-objek dan kesenian -terutama kesenian Jawa- sering membangkitkan emosi dan gairahnya untuk melukis.
Gaya Surealisme
Sekitar tahun 1969, lukisan O.H. Supono mulai berkecenderungan ke arah surealisme. Meskipun, pada saat tertentu dia juga tetap melukis dengan gaya ekspresionis. Sedangkan gaya kubisme ditinggalkan sama sekali.Gaya surealisme O.H. Supono dipengaruhi budaya tempatnya tumbuh. Sebagai orang Timur, secara turun-temurun dia terbiasa dengan seribu satu cerita ganjil, mimpi-mimpi aneh, dongeng-dongeng, dan sebagainya. Sangat dibutuhkan spiritualisme yang tinggi selain imajinasi dan ide-ide. Imajinasi serta mimpi-mimpi yang juga dipengaruhi tradisi dan budaya tidak lepas dari legenda serta cerita-cerita wayang.O.H. Supono punya kriteria tersendiri tentang lukisannya yang bergaya surealisme. Meskipun, secara psikoplastis yang tampak surealisme, dia memiliki dasar kreativitas untuk lukisannya.Sedangkan ide-idenya berkisar mengenai materi realitas dan jiwa yang berkonflik. Selain nilai-nilai tradisi dan budaya, gaya surealisme itu dipengaruhi fantasi dan imajinasi yang mengalami konflik dengan realitas. Pada eranya (1960-1980-an), masih sedikit seniman yang mempunyai keberanian untuk berubah-ubah gaya lukisan. Saat itu adalah suatu era modernis yang mengultuskan gaya pribadi atau individual ekspresi tunggal. Tetapi, O.H. Supono berpendapat, perjalanan kesenian yang panjang tentu memberikan pengaruh terhadap pribadi, juga karya-karyanya. Bagi dia, wajar ada pengaruh-memengaruhi dalam suatu sikap berkarya. Mungkin, saat itu bukanlah hal yang jamak bila seseorang bisa toleran terhadap pengaruh dalam berkesenian.
INEZ AUDRIANA, Mahasiswi Jurusan Seni Rupa FIB Universitas Brawijaya
Komentar
Posting Komentar