Etika Belajar-Mengajar Untuk Atasi Kekerasan di Sekolah


oleh: K Ng H Agus Sunyoto

Berbagai tindak kekerasan yang sejak decade 2000-an sudah  marak di sekolah dan  sebenarnya telah meluas dan terpendam selama puluhan tahun, yang menurut pandangan Emile Durkheim sebagaimana dikutip Sarlito Wirawan bahwa  keadaan  itu hanya mungkin terjadi di dalam masyarakat anomie, yaitu masyarakat tanpa norma, merupakan sesuatu yang bersifat laten. Semakin maraknya kekerasan di sekolah dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi di kampus-kampus, makin mengautkan fenomena anomie yanhg terjadi atas bangsa ini. Terjadinya kekerasan terhadap wartawan yang dilakukan siswa-siswa sekolah SMAN VI Jakarta hanya bagian saja dari permukaan gunung es permasalahan yang akan membesar dan mengerikan hasilnya di belakang hari.
          Kekerasan di sekolah  akan  menjadi  problem yang tidak akan tertanggulangi,
terutama saat polisi, hakim, pemerintah, anggota DPR, dan semua pengatur masyarakat, termasuk pemuka agama, terlibat manipulasi norma. Oleh sebab itu, gagasan mengatasi masalah kekerasan di sekolah dengan memfungsikan kembali secara maksimal penegakan norma yang disebutreinforcement method seperti razia senjata tajam,  narkoba, mencegah alumni yang tak jelas tujuannya  mempengaruhi siswa yang masih sekolah, skorsing siswa-siswa pelanggar hukum sekolah, yang dinilai  berhasil di Singapura, Malaysia, dan China, pada dasarnya tidak bisa dipandang sebagai satu-satunya faktor bagi turunnya tingkat kekerasan di sekolah-sekolah Indonesia, sehingga tidak menjamin akan  memberi hasil  yang sama jika diterapkan di Indonesia.
             Tanpa bermaksud meremehkan gagasan penerapan  reinforcement method yang diajukan Sarlito Wirawan, tindak kekerasan di sekolah yang disebut bullying oleh Peter K. Smith - sebagaimana dikutip Junifrius Gultom (Kompas, 17/11/2007) - pada dasarnya adalah masalah klasik, berkesinambungan, dan kompleks, yang terjadi di hampir semua area kehidupan, politik, ekonomi, olahraga, keluarga, tempat kerja, dan dunia pendidikan. Bahkan bullying di sekolah adalah masalah global dan merupakan masalah sosial yang berakibat serius dan berdampak negatif pada hidup dan langkah karier anak sekolah kelak. Data bullying (1988) yang dikutip Junifrius Gultom seperti  di Selandia Baru (15% SMA), Inggris (27% SMP dan 10% SMA), Australia (25-30 % tiap hari), dan secara internasional (23% SMP dan 10% SMA) adalah fakta yang menunjuk bahwa kasus-kasus tersebut berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan yang menganut sistem persekolahan (schooling system). Oleh sebab itu, lebih dari sekedar melihat kasus kekerasan yang berlangsung di sekolah-sekolah dari aspek sosiologis dan psikologis, yang tak kurang penting adalah keharusan untuk  memandang kasus tersebut dari aspek eksistensi  sekolah sebagai sebuah sistem pendidikan. Sudah tepatkah sistem persekolahan yang tumbuh di atas landasan filsafat positivisme Barat itu dijadikan satu-satunya sistem pendidikan nasional yang diakui pemerintah? Kenapa setelah seabad dijadikan acuan satu-satunya sistem pendidikan dan terbukti telah menimbulkan berbagai problem sosio-kultural-religius yang rumit belum pernah dilakukan evaluasi terhadap cocok dan tidak cocoknya sistem persekolahan dijadikan sarana mendidik bangsa Indonesia?

Sekolah Tanpa Etika Belajar-Mengajar
            Ditinjau dari aspek sejarah, sebagai sebuah sistem pendidikan, sistem persekolahan (schooling system) baru diperkenalkan secara formal di Indonesia sekitar tahun 1900, yaitu  saat diterapkannya politik etis oleh pemerintah kolonial Belanda. Sejak diterapkan sebagai sistem pendidikan kolonial, sekolah sudah dicitrakan sebagai  lambang modernitas,  kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat, gelar-gelar akademis prestisius, ketersediaan  lapangan kerja, dan  kesuksesan hidup pribumi. Oleh sebab itu, saat Bangsa Indonesia merdeka dan membentuk negara modern yang didominasi elit didikan sekolah formal, segera ditetapkan kebijakan oleh pemerintah bahwa sistem persekolahan  adalah satu-satunya sistem pendidikan yang  secara nasional dijadikan  sarana wajib untuk mencerdaskan kader-kader bangsa. Dan  sebagaimana keberadaan sekolah di era kolonial, di negara modern  Indonesia yang merdeka pun, sekolah-sekolah tetap dicitrakan  sebagai  lambang modernitas,  kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat, tempat diperolehnya gelar-gelar akademis prestisius, ketersediaan lapangan kerja, kesuksesan hidup  anak-anak bangsa, di samping wahana paling efektif dalam proses  indoktrinasi dan ideologisasi atas  superioritas Barat,  .
            Lepas dari terbukti atau tidak pencitraan sekolah sebagai lambang modernitas, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat, gelar-gelar akademis prestisius,  penyediaan lapangan kerja, dan kesuksesan hidup para alumnusnya,  dalam kenyataan, sepanjang  sistem persekolahan diterapkan sebagai satu-satunya sistem pendidikan nasional, pemerintah dan masyarakat sampai saat sekarang ini tetap belum mengubah pencitraan terhadap sekolah dengan segala idealitasnya tersebut. Bahkan di tengah maraknya usaha-usaha educationomic - menjadikan pendidikan sebagai komoditas perniagaan jasa  yang menguntungkan - pencitraan ideal terhadap sekolah  sebagai warisan kolonial terbukti semakin menguat dan obsesif.
Tanpa bermaksud mencari-cari kekurangan dan kelemahan sistem persekolahan, ditinjau secara kronologis penerapan sistem persekolahan sebagai sistem pendidikan di Indonesia, dapat  dipandang  sebagai   sesuatu yang menyimpang dari kelaziman tradisi belajar-mengajar di Indonesia yang menerapkan  sistem pendidikan asli seperti asrama, padhepokan, dukuh, dan pesantren. Sesuatu yang dianggap menyimpang dari kelaziman tradisi belajar-mengajar tersebut  adalah tidak adanya materi pendidikan terkait  etika belajar-mengajar  yang diberikan sebagai bagian integral dari proses belajar-mengajar khas Nusantara yang dibangun di atas dua sistem pengetahuan, yaitu pengetahuan analitis yang disebut nalar/buddhi/ilmu aql yang terpusat di otak dan pengetahuan intuitif yang disebut kawruh/jnana/ilmu qalb.
 Sistem persekolahan yang tegak di atas landasan filsafat positivisme yang semata-mata bertumpu pada fakta-fakta yang tegak di atas bangunan rasionalisme dan empirisme,  tegas-tegas  mengabaikan semua aspek yang berhubungan dengan pengetahuan intuitif sebagai sesuatu yang irasional dan dianggap bukan bagian ilmu pengetahuan. Sebab pengetahuan intuitif dalam pandangan positivis digolongkan sebagai bagian dari agama yang menjadi ciri masyarakat primitif. Demikianlah, sistem pendidikan asli Indonesia seperti asrama, padhepokan, dukuh, pesantren yang menjadikan nilai-nilai keagamaan bersifat intuitif sebagai bagian dalam pendidikan yang mencetak lulusan berpengetahuan luas, trampil, cerdas, berbudi pekerti luhur, dan bertaqwa, di dalam pandangan positivis justru dianggap sebagai sistem pendidikan primitif, sehingga tidak aneh jika pendidikan di pesantren,  padhepokan, asrama, dukuh  digolongkan sebagai  pendidikan tradisional.
            Akibat pengabaian sekolah terhadap nilai-nilai keagamaan bersifat intuitif, menurut tesis Imron Arifin (1992) adalah kegagalan pembinaan watak anak didik di dunia pendidikan karena sistem pendidikan sekolah lebih mengutamakan aspek perkembangan intelektual daripada pembinaan kepribadian. Temuan Arifin itu setidaknya sudah diungkap dalam disertasi Hazim Amir (1986), yang menyatakan bahwa pendidikan watak guru di sekolah yang terpadu dan menyeluruh belum pernah ada di Indonesia, bahkan di IKIP tempat guru-guru dicetak. Fakta menunjuk sampai saat itu, IKIP belum memiliki kriteria standar tentang guru ideal maupun watak guru yang bagaimana yang harus dimiliki lulus IKIP, apalagi setelah berbagai IKIP dirubah menjadi universitas-universitas negeri.

Etika Belajar-Mengajar Dalam Pendidikan Asli Indonesia
Berbeda dengan sistem sekolah yang ditegakkan di atas bangunan rasionalisme-empirisme, sistem pendidikan asli Indonesia seperti padhepokan, asrama, dukuh, dan pesantren yang tegak di atas bangunan pengetahuan analitis yang disebut nalar/buddhi/ ilmu aql dan pengetahuan intuitif yang disebut kawruh/jnana/ ilmu qalb tidak memisahkan secara diametral antara nalar dan intuisi, antara akal dan qalbu, antara intelektualitas dan etika, antara kecerdasan dan moralitas. Itu sebabnya, di dalam proses belajar-mengajar, terdapat sistem etika yang berkaitan erat dengan keberhasilan dalam proses transformasi pengetahuan. Guru atau siswa yang melanggar sistem etika belajar-mengajar, akan dianggap gagal dalam transformasi pengetahuan.
Naskah-naskah berjudul Silakrama, Tingkahing Wiku dan Wratisasana yang berasal dari era Majapahit, misal, memuat tatakrama belajar-mengajar di sebuah Dukuh  dalam proses menuntut pengetahuan. Salah satu bagian penting tatakrama itu disebutGurubhakti yang berisi tatatertib, sikap hormat dan sujud bakti yang wajib dilakukan para siswa kepada gurunya. Penggunaan istilah guru, memiliki kaitan erat dengan salah satu nama Ilahiyyah Shiva, yaitu Bhatara Guru - Sang Pengajar. Sedang istilah siswa diambil dari kata sisya, yakni penuntut pengetahuan yang sudah disucikan melalui upacara mediksha. Istilah diksha yang bermakna proses pensucian menuju Yang Ilahi, dijadikan akar dalam kata ‘didik'. Baik di padhepokan, asrama, dukuh tujuan pendidikan adalah memperoleh Kebenaran Ilahi. Oleh sebab itu, para siswa, dalam tatakrama menuntut pengetahuan,  tidak boleh duduk berhadapan dengan guru sebagaimana layaknya seorang kawan, tidak boleh memotong pembicaraan guru, menuruti apa yang diucapkan guru, mengindahkan nasehat guru meski dalam keadaan marah, berkata-kata yang menyenangkan guru, jika guru datang harus turun dari tempat duduknya dsb. Ketundukan siswa penuntut pengetahuan kepada guru selaku pemilik pengetahuan adalah mutlak. Gagasan gurubhakti  dalam naskah Silakrama mencakup tiga (triguru), yaitu orang tua yang melahirkan yang disebut  guru rupaka, guru yang mengajarkan pengetahuan ruhani yang disebut  gurupangajyan dan raja yang disebut guruwisesa. Gagasan gurubhakti inilah yang selama berabad-abad menciptakan keselarasan kehidupan bangsa Indonesia dalam mengembangkan kebudayaannya, yang sempat melahirkan negara-negara nasional seperti Kalingga, Sriwijaya, Mataram, Singhasari, Majapahit.
Sewaktu pengaruh Islam masuk Indonesia melalui pembawa ajaran sufisme sebagaimana dikemukakan James L. Peacock (1978), bentuk pendidikan padhepokan, asrama dan dukuh tidak diubah melainkan disempurnakan menjadi sistem pesantren. Istilah guru tidak dirubah. Aturan baku yang mengharuskan guru berasal dari kalangan Brahmana yang secara tradisional bergelar Kyayi, dilanjutkan di pesantren. Meski istilah siswa diganti santri - dari kata Sansekerta  sashtri yang bermakna orang-orang yang mempelajari kitab suci (sashtra) - tetapi makna dasarnya tidak berubah. Begitu pun saat naskah-naskah tektual yang digunakan sebagai buku pedoman bagi pendidikan etika belajar-mengajar tidak menggunakan kitab Silakrama, Tingkahing Wiku dan Wratisasana, melainkan kitab Ta'limul Muta'alim, Akhlaq wal-Wajibat, Washiya, Bulughul Marom tetapi esensi sistem etikanya tidak banyak mengalami perubahan. Sistem pendidikan pesantren menuntut ketundukan mutlak santri selaku siswa terhadap kyayi selaku guru, demikian pun kyayi selaku guru dalam memandang santri sebagai murid-murid yang menjalankan ibadah mengikuti kewajiban agama menuntut pengetahuan menuju al-Murid.
Lepas dari kajian-kajian teoritis tentang pendidikan yang ideal di tengah maraknya problem serius yang membelit dunia pendidikan formal di Indonesia yang menganut sistem persekolahan (schooling system) seperti kekerasan bullying, tawuran antar sekolah, komersialisasi pendidikan, meledaknya pengangguran para lulusan sekolah, meluapnya urbanisasi sebagai konsekuensi lagis dari sistem persekolahan, jiplak-menjiplak tesis, menjamurnya biro-biro sekripsi dan tesis, fakta menunjuk bahwa keadaan carut-marut seperti itu setidaknya belum terjadi di pesantren-pesantren tradisional yang dianggap terbelakang. Fakta menunjuk bahwa dari beribu-ribu jumlah pesantren salaf yang tersebar di berbagai tempat di Indonesia, belum pernah muncul  kabar tentang terjadinya kekerasan bullying, tawuran antar santri, santri melawan guru, guru menyiksa santri, komersialisasi pesantren, dsb. Tidak terjadinya kasus-kasus serius di pesantren sebagaimana yang terjadi di sekolah-sekolah, tidak bisa ditafsirkan lain kecuali adanya fakta yang menunjuk bahwa pesantren dalam menjalankan proses belajar-mengajar tetap menggunakan sistem etika sebagai bagian integral proses belajar-mengajar dengan menggunakan kitab-kitab seperti Ta'limul Muta'alim, Akhlaq wal-Wajibat, Washiya, dan Bulughul Marom.
Berdasar uraian di muka, dapat disimpulkan bahwa problem serius yang dihadapi dunia pendidikan nasional kita yang menganut sistem persekolahan, pangkalnya adalah tidak adanya sistem etika yang dianut dalam proses belajar-mengajar. Oleh sebab itu, tanpa adanya usaha-usaha perbaikan mendasar sistem persekolahan yang berorientasi pada sistem etika, dipastikan akan membawa dunia pendidikan kita ke depan  ke jurang malapetaka, yaitu sistem pendidikan yang akan memproduksi lulusan-lulusan yang tidak saja mengalami anomie melainkan juga lulusan-lulusan yang tidak memiliki landasan  moral dan bahkan tanpa jati diri bangsa. Demikianlah, problem kekerasan di sekolah yang  belakangan ini marak,  hanya mungkin diatasi jika di sekolah-sekolah diajarkan etika belajar-mengajar sebagaimana hal itu sudah terbukti keberhasilannya sewaktu dupraktekkan di padhepokan-padhepokan, asrama-asrama, dukuh-dukuh, dan pesantren-pesantren selama ratusan tahun silam.

Komentar

Postingan Populer