Sekolah


  oleh: K. Ng. H. Agus Sunyoto
I. Dilema Era Globalisasi


Sejak diterimanya penjadualan Globalisasi oleh Pemerintah RI dalam KTT APEC tahun 1994 di Bogor, yang diikuti ratifikasi kesepakatan AFTA (ASEAN Free Trade Area)/ WTO (World Trade Organization)/ GATS (General Agreement on Tariffs and Services) dengan pencangan memasuki Millenium Development Goals pada 2020 yang dipercepat menjadi 2015, secara pasti bangsa Indonesia memasuki zaman baru yang disebut  zaman pasar bebas atau era globalisasi, yaitu zaman persaingan bebas dengan prinsip Free Fight

Liberalism di mana hanya manusia-manusia unggul saja yang mampu bertahan dari persaingan semacam itu. Secara lebih jelas apakah sesungguhnya yang disebut zaman pasar bebas yang disebut globalisasi yang menganut prinsip Free Fight Liberalism? Apakah pula yang dimaksud manusia unggul dalam konteks itu?
George Soros dalam buku berjudul On Soros: Staying Ahead of the Curve (1995) menyebutkan bahwa seiring meredanya ketegangan perang dingin (cold war) antara Barat dengan Timur yang ditandai  runtuhnya komunisme, terjadi fenomena global  tentang    bakal lahirnya tatanan baru yang disebut a global open society, yakni tatanan baru masyarakat dunia  yang dibangun di atas empat ciri utama: (1) effective competition, yaitu bentuk persaingan di mana situasi nilai dan peluang-peluang selalu berubah; (2) memaksimalkan kebebasan individual dengan membiarkan orang memasuki berbagai pilihan alternatif yang tersedia secara global; (3) hubungan sosial berdasar kontrak sosial di mana individu sebagai nucleus dari struktur masyarakat mengambang  secara global tanpa perlu akar tempat berpijak yang mengikat; (4) nilai-nilai hanyalah masalah pilihan seperti  orang memilih di tempat mana mau berinvestasi atau berspekulasi. Itulah definisi ‘masyarakat global yang terbuka' yang dilontarkan George Soros sebagai representasi pemikiran kapitalis global; sebuah masyarakat bersifat trans-nasional yang tidak dibatasi ras, suku, budaya, bahasa, teritorial, agama; masyarakat terbuka yang hak-hak asasinya harus dilindungi oleh undang-undang di berbagai negara. Dan era ‘masyarakat global yang terbuka' itulah yang disebut era globalisasi yang dianggap sebagai era Millenium Development Goals di mana setiap orang - baik individu maupun kolektif --  bebas bersaing untuk mempertahankan eksistensinya di dunia.
 Dengan terjadinya perubahan tatanan masyarakat baru di era milenium yang disebut ‘masyarakat global yang terbuka' atau a global open society sebagaimana dikemukakan George Soros, tuntutan mendasar yang tidak dapat ditawar-tawar lagi adalah adanya usaha-usaha membangun sumber daya manusia berkualitas melalui pendidikan yang ditandai ciri-ciri: memiliki ketaqwaan kepada Tuhan Yang Mahaesa, cerdas dan terampil, berbudi pekerti luhur,  berkepribadian kuat, berpengetahuan luas,  mandiri,  trampil, berani, pantang menyerah, berdaya survive tinggi,  manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsanya. Dalam usaha menciptakan sumber daya manusia berkualitas ini, yaitu manusia-manusia yang unggul dibutuhkan sistem pendidikan yang sesuai visi, misi, tujuan, dan strateginya dengan fenomena tatanan era Millenium Development Goals yang dicanangkan tahun 2015, yang fenomena awalnya sudah dijalankan sebagai AFTA tahun 2003 yang akan disusul APEC tahun 2010. Mampukah bangsa Indonesia menyediakan usaha-usaha membangun sumber daya manusia melalui sistem pendidikan yang dibutuhkan di era globalisasi 2015? Mampukah sistem pendidikan yang dijalankan sekarang di Indonesia menghasilkan lulusan-lulusan yang unggul yang mampu bersaing di era globalisasi?

II. Dilema Pendidikan Nasional

Tiap-tiap warganegara berhak mendapatkan pengajaran. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang. Itulah bunyi ideal dari  pasal 31 ayat 1 dan 2 dari UUD 1945. Sayangnya dalam perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia, amanat undang-undang dasar itu menimbulkan masalah besar kalau tidak boleh dikata gagal dilaksanakan  pemerintah untuk mencerdaskan dan mendewasakan  anak-anak bangsa sebagaimana tujuan ideal pendidikan sebuah bangsa.
Pertama-tama, di tengah arus  globalisasi yang ditandai persaingan lembaga-lembaga pendidikan sekolah unggulan, yang memungut biaya sangat tinggi, sehingga tidak terjangkau masyarakat, terutama yang berasal dari kalangan grass-root di mana keadaan itu makin diperparah oleh  munculnya sekolah-sekolah yang bersaing menjadi bertaraf  internasional yang akan mengarahkan lulusan untuk belajar ke luar negeri dengan biaya sangat tak terjangkau. Akibatnya, hak tiap-tiap warganegara untuk mendapatkan pengajaran sebagaimana  diamanatkan undang-undang dasar terabaikan, terutama setelah terjadi liberalisasi pendidikan nasional melalui Undang-undang BHP (Badan Hukum Pendidikan). Amanat undang-undang dasar hanya sekedar menjadi hafalan kata-kata yang indah  tanpa makna.
Masyarakat di seluruh Indonesia  dewasa ini dihadapkan pada  tantangan serius dari berbagai resapan pengaruh materialisme sekular dengan sistem nilainya yang bersifat liberal.  Orang tua, para pendidik, pemimpin agama dan pihak-pihak lainya seolah dihadapkan pada sebuah dilema besar tentang  bagaimana mencari cara terbaik dalam upaya mendewasakan anak-anak mereka serta menyiapkan mereka menghadapi berbagai tantangan  masa depan.  Sebagian di antara mereka mengatakan bahwa jawabannya adalah kembali ke masa lalu; sebagian yang lain mendorong  untuk terjun langsung ke masa depan. Sesungguhnya, manusia membutuhkan kedua akar dan cabang tersebut dalam rangka bertahan hidup dan kesuburannya, sebagaimana tengara sebuah hadits "al-insaan ibn az-zaman" (manusia adalah anak zaman).

III. Dilema Sistem Persekolahan

Sistem Persekolahan (schooling system) yang dikembangkan kalangan pemikir positivisme yang dipilih oleh pemerintah RI sebagai satu-satunya sistem pengajaran sebagai tafsir tunggal  undang-undang dasar 1945, terbukti menimbulkan hasil jauh dari harapan yang diharapkan MPR yaitu terbentuknya warganegara yang memiliki ketaqwaan kepada Tuhan Yang Mahaesa, cerdas dan terampil, berbudi pekerti luhur,  berkepribadian kuat, manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa. Sistem Persekolahan yang dijadikan satu-satunya sistem pengajaran oleh pemerintah, terbukti melahirkan lulusan-lulusan yang jauh dari harapan: tingkat ketaqwaan sangat rendah yang ditandai maraknya KKN, kecerdasan dan ketrampilan nyaris tidak terpenuhi, budi pekerti luhur tak tersentuh dalam proses belajar mengajar, kepribadian kuat tidak terbentuk,  pengetahuan tentang kehidupan dunia riil rendah, kurang mampu bersaing dalam kehidupan riil,   tidak mampu membangun diri sendiri, bahkan cenderung hanya menjadi kelompok-kelompok pencari kerja ke kota-kota besar dan luar negeri. Fakta menunjuk bahwa akibat penerapan sistem persekolahan dalam pendidikan formal, adalah meningkatnya arus urbanisasi,  meledaknya jumlah pengangguran dari lulusan-lulusan sekolah yang tidak trampil, mewabahnya kejahatan kerah putih yang dilakukan lulusan-lulusan sekolah, ketidak-mampuan para lulusan sekolah membangun wacana independen, dan ketidak-berdayaan para lulusan sekolah dalam menghadapi tantangan perubahan.
Berbagai permasalahan keseharian masyarakat Indonesia yang mengakar dalam faktor-faktor sosial, politik, ekonomi, hukum,  dan pendidikan banyak diakibatkan oleh kegagalan sistem persekolahan mencetak lulusan yang diharapkan.  Pertama, modernitas telah memainkan sebuah peran penting dalam menggeragoti nilai-nilai luhur warisan leluhur bangsa yang ada di seluruh Nusantara, termasuk di kalangan Muslim yang merupakan mayoritas warga bangsa.  Banyak hal yang diserap para anak didik tentang nilai-nilai saat ini seperti budaya pop dan punk, yang diperoleh  dari sekolah dan media masa.  Kedua, berbagai pengalaman kolonialisme di abad ke-20, materialisme dan sekularisme telah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam pola pikir serta sistem nilai orang-orang Indonesia  sekarang ini yang mengalami anomie - krisis identitas dan kehilangan norma-norma.  Apa yang menjadi catatan pada setiap kejanggalan yang tampak pada masyarakat Indonesia dan peradaban modern dalam menghadapi materialisme sekular global dan sistem nilainya?  Ketiga, ketidakcukupan kebebasan dalam masyarakat Muslim Indonesia saat ini juga telah bermain secara halus dan berperan penting dalam menggarisbawahi pengembangan karakter kuat di banyak anak muda.  Perkembangan moral yang sesungguhnya tidak akan dapat tumbuh subur tanpa adanya kebebasan sosial, intelektual serta spiritual yang memadai.  Hasil kolektif dari pelbagai faktor ini bahwa orang-orang Muslim Indonesia saat ini mengalami disorientasi spiritual, termarjinalisasi secara sosial, dan secara umum menjumpai diri mereka dalam sebuah kebingungan akan peran dan posisi mereka dalam masyarakat modern.  Ini merupakan warisan yang telah kita wariskan pada anak-anak kita saat ini sebagai akibat sistem persekolahan yang tidak manusiawi. 
Namun lebih dari segalanya, mungkin, sistem pendidikan dalam masyarakat Muslim Indonesia memerankan peranan terbesar dalam keterputusan yang terjadi antara nilai-nilai dan praktik yang eksis di penjuru masyarakat Muslim saat ini. Keterputusan tersebut juga menyangkut sistem pendidikan religius.  Selama lebih dari satu abad lamanya, pendidikan sekolah dipandang secara khusus sebagai sebuah proses transmisi daripada sebuah proses transformasi.  Fokus utama pada pengajaran tubuh informasi adalah diajarkan dan diingatkan, daripada tubuh pengalaman yang dihidupkan dan diinternalisasikan sebagai karakter.  Dalam dunia multimedia dewasa ini, internet serta komunikasi global, pendekatan sebelumnya telah terbukti tidak mencukupi serta tidak efektif dalam menggerakkan anak muda Muslim Indonesia untuk menggunakan Islam sebagai sebuah sistem nilai personal maupun sosial-khususnya dihadapan masyarakat modern sekular.  Hasil yang diperoleh adalah, kecuali bagi kalangan minoritas, banyak anak muda saat ini memandang Islam sebagai ajaran yang tidak relevan bagi kehidupan personal mereka dan banyak diantara mereka yang tidak mengenal lagi Islam dengan baik sebagaimana diwariskan leluhurnya. Apakah yang menjadi catatan dari kegagalan seperti demikian?
Kegagalan pendidikan anak-anak Muslim Indonesia  sebagian besar mengakar pada kesalahan sistemik dalam mengajar anak-anak kita - dengan menerapkan sistem persekolahan - yang menimbulkan akibat gagalnya proses pendidikan.  Pertama, pengajaran yang cenderung  terfokus pada pengembangan kognisi dan tidak didasarkan pada fokus personaliti dan penumbuhan karakter, seperti yang dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan tradisional seperti pesantren.  Pengajaran lebih difokuskan pada fakta-fakta empirik serta informasi yang sudah diformat dalam kemasan logosentrisme Barat bersifat doktriner.  Kedua, banyak dari apa yang diajarkan kepada para murid tidak relevan dengan kehidupan nyata para murid - mengenai kebutuhan, perhatian serta tantangan-tantangan mereka sesuai tuntutan zaman.  Ketiga, metode pengajaran dipusatkan seputar pengajaran daripada seputar pendidikan - sebuah perbedaan yang tajam dan  sangat penting.  Keempat, pengajaran seperti demikian tidak menyiapkan para murid dengan "keterampilan nyata" yang semakin dibutuhkan untuk difungsikan secara tepat dalam masyarakat saat ini.  Sebagai tambahan, pendidikan Muslim kontemporer (seperti halnya banyak pendidikan Barat lainnya) memiliki ciri khas kurangnya pemahaman yang solid mengenai psikologi, pedagogi, kultur, dan sosiologi pertumbuhan anak dan pertumbuhan moral.  Atas dasar alasan demikian, upaya-upaya penerapan sistem sekolah  akan selalu  tidak efektif.

                                                                                                                                Sumber :http://pesantrenbudaya.com/?id=3

Komentar

Postingan Populer