Luruh Bersama Hujan
Rizki Hakiki
Valentine
Bus penuh sesak. Gadis berwajah oriental keturunan Jepang
itu tidak melepaskan gandengan tangannya dengan seseorang berambut cepak di
belakangnya. Dia benci bus yang mencekiknya seperti ini. Berbeda dengan si cepak
Ivy yang terlihat waspada dan mempererat tautan tangannya dengan Naomi saat
supir bus mengerem mendadak agar Naomi tidak tersungkur kedepan. Beberapa
penumpang mengaduh sedangkan Naomi sendiri mendecak risih saat menyadari ada
tangan laki laki yang memeluknya seolah
menjadikannya sebagai pegangan. Dia
semakin merapat ke Ivy.
Hanya
selang beberapa detik setelah Ivy merangkul Naomi, gadis berambut panjang yang
ada di depan Naomi memekik tertahan. Copet. Naomi memandang Ivy, dia tahu betul
kalau sahabatnya itu akan melakukan sesuatu demi gadis itu. Dan benar, Ivy
melangkah diantara kerumunan manusia itu hanya untuk menangkap pundak lelaki
yang hendak turun dari bus tepat dilampu merah. Naomi yang tidak menyukai
perkelahian harus menutup matanya untuk menghindar dari melihat adegan
kekerasan, hanya saja dia masih bisa mendengar suara debuman di tubuh orang
yang saling memukul.
“Kita bakar aja nih copet sialan!!!!”
“Iya!!!
Bakar aja!”
“Nggak, biar aman kita
serahin aja kekantor polisi! Kita ini di negara hukum, jangan asal bakar aja!”
Ivy terengah sambil mengunci posisi pria bertubuh tinggi ceking itu. Posisinya
mengunci tangan pria itu segera digantikan beberapa lelaki yang sepertinya siap
membawa copet itu ke kantor polisi. Naomi segera menarik tangan Ivy. Dia tahu
benar kalau sobat karibnya itu penyuka film action dan seorang atlit taekwondo,
itu sebabnya dia menyukai bepergian dengan Ivy karena dia selalu berfikir kalau
Ivy bisa melindungi siapa saja.
“Lo gak pa pa kan Vy,
gak luka kan?” bisik Naomi diikuti gelengan kepala Ivy.
“Makanya ati ati kalo di
bus” kata Ivy setelah sembat terbatuk karena asap rokok seorang pemuda
bertindik yang duduk tak jauh dari tempatnya berdiri. Baru saja Ivy hendak
membuka mulut lagi dia menyadari bahwa perhatian Naomi tidak lagi untuknya.
“Ya Ngga, kenapa?” Naomi
sedang menerima telfon. Pasti Airlangga, pikir Ivy. Bibirnya mendecak sambil
melirik Naomi yang bercakap cakap dengan Airlangga tentang acara kampus yang
digelar minggu depan. Selama sebulan terakhir ini selalu Ivy yang menjadi sosok
yang harus mengalah. Sendiri di malam minggu yang sepi, mengerjakan tugas tanpa
teman diskusi karena naomi lebih memilih bersama Airlangga di perpustakaan,
makan siang di kantin seorang diri, semuanya karena Naomi menghabiskan waktunya
bersama Airlangga yang diperkenalkan oleh Ivy pada Naomi tepat sebulan yang
lalu di depan fakultas sastra. Kenapa mereka menjadi begitu cepat akrab?
Naomi menutup sambungan telfon. Dia
menoleh menatap Ivy dengan mata berbinar. Ivy bisa menerjemahkannya, sebuah
tanda bahwa Naomi sedang bahagia.
“Gue mau ke book fair
sama Angga besok lusa. Dia nanya lo mau ikut juga gak? Lo kan suka buku”
“Oh, nggak deh, pergi
aja berdua” Ivy melempar pandangan keluar jendela memperhatikan pohon pohon
yang tertanam berjajar dipinggir jalan. Dia berusaha mengosongkan fikiran dari
bayangan Airlangga dan Naomi, mungkin mereka sudah sangat cocok dan Ivy tidak
bisa melakukan apa apa. Selanjutnya Ivy hanya bisa menghela nafas berat dan
menyesali kenapa Naomi dan Airlangga bisa bertemu.
***
Ivy masih berdiri sendirian di halte
bus sambil memandangi ponsel yang digenggamnya. Bus belum datang dan sekarang
dia sedang gundah menunggu ponselnya berdering dan memberi kabar tentang Naomi.
Ivy tidak akan berdiri sendirian saja disini dan mungkin akan sedang bercanda
riang dengan Naomi andai saja Naomi tidak memutuskan untuk pulang bersama
Airlangga. Ini tidak menyenangkan. Mungkin Naomi sekarang sudah ada dirumah
menikmati segelas es sementara dia disini berteman dengan polusi dan masih
harus bersiap lagi mengerjakan tugasnya dengan beberapa orang temannya.
“Tumben
lo nggak sama Naomi” celetuk seseorang dari arah belakang. Ivy menoleh,
ternyata dia melalaikan pandangan saat sosok itu berjalan ke halte tempatnya
berdiri, Yoland. Gadis berambut pirang itu melayangkan pandangannya ke arah
rambut cepak Ivy yang lebih acak dari biasanya. Ivy tidak menjawab
pertanyaannya, dia hanya menggidikkan bahu.
“Dia dianterin pulang sama temen gue” jawab
Ivy akhirnya. Yoland hanya mengangguk angguk tanpa tahu untuk apa dia
melakukannya.
“Jangan cemburu ya, Naomi gak bakalan
ninggalin elo kok Bang... hahahah” Yoland melepas tawa. Ivy hanya tergelak.
Selalu saja teman temannya mencandainya seperti itu.
Ivy
memang lebih terlihat maskulin, badannya yang lebih kekar dari pada gadis gadis
kebanyakan membuatnya dijuluki sebagai abang abang tambal ban. Tentu saja itu
hanya bercanda. Belum lagi rambutnya yang dipangkas hampir habis membuat orang
yang baru pertama kali melihatnya mengiranya sebagai laki laki. Dan Naomi
sahabat karibnya jauh dari sikap tomboy, sisi wanitanya terlihat begitu jelas
diikuti sikapnya yang sedikit manja senang menggelayut di lengan Ivy. Andai
saja Ivy laki laki mereka akan menjadi pasangan yang cocok.
Sebuah terrano hitam tiba tiba saja berhenti di
hadapannya. Ivy mengenal pengemudinya. Tidak salah lagi itu adalah pacar
Yoland.
“Eh, gue duluan ya” Yoland menyentuh bahu Ivy
yang mengangguk sambil tersenyum.
Lagi. Sendirian. Bus belum juga datang. Ivy melayangkan
pandangannya kesekeliling dan pandangannya terhenti pada sebuah mini market di
seberang sana. Dia hampir saja lupa untuk belanja keperluan sebulan kedepan.
Segera Ivy menyebrang dan lagi lagi perhatiannya tertarik pada sebuah suara
wanita yang berseru dengan kerasnya. Mata Ivy mencari cari. Dapat. Dia
mendapati seorang wanita yang menggendong bayi kecil dalam dekapannya dan
dihadapannya berdiri seorang lelaki berjenggot yang menarik narik tangan wanita
itu.
“Buat apa aku balik ke rumah? Cuma buat lihat
kamu sama perempuan murahan itu? Iya? Sudah cukup kamu sakiti aku Mas,
tinggalin aku sendiri. Jangan ambil anakku. Jangan. Aku ibunya, kamu ayah nggak
bertanggung jawab! Kamu nggak berhak atas dia. Tinggalin aku!”
Ivy terperangah. Sebuah adegan yang menyayat hatinya
dengan begitu dalam. Hatinya muram semuram langit saat ini. Mendung mendung
kelam makin memperburuk suasana hatinya. Sepuluh tahun yang lalu ayah dan
ibunya juga saling meneriakkan caci maki saat langit sedang muram, dan ketika
hujan turun dengan derasnya ayahnya pergi dan tak pernah kembali atau sekedar
mencarinya hingga sekarang. Ayah tidak lagi peduli pada ibu dan dirinya. Ayah
sering memukul ibu, menghina ibu bahkan mencambuk Ivy saat Ivy berusaha melerai
pertengkaran mereka. Bahkan saat ibu jatuh sakit, ayah sama sekali tidak
pulang.
Itukah
laki laki yang katanya selalu melindungi wanita? Luka batin Ivy terbuka lagi
saat mengingatnya. Itu adalah salah satu alasan kenapa Ivy berusaha kuat secara
mental maupun fisik. Dia ingin melindungi perempuan perempuan malang seperti
ibunya yang selalu ditindas lelaki.
“Ivy!” suara itu. Ivy menoleh, matanya
meninggalkan pemandangan yang tidak mengenakkan itu. Sebuah mobil berhenti di
hadapannya. Airlangga.
“Belom pulang juga? Gue anterin pulang yuk”
Ivy menggeleng. Tangannya memberi isyarat agar Airlangga
tidak usah mengantarkannya pulang.
“Nggak usah, gue bisa pulang sendiri”
“Tapi bentar lagi ujan, ntar lo keujanan.
Ayolah, wonderwoman juga perlu diantar pulang” Airlangga berseloroh. Ivy
mendongak menatap langit yang mulai meneteskan butir butir bening air dari
atas.
Ivy membuka pintu mobil lantas duduk disamping Airlangga.
Mereka saling menatap. Ada sedih di mata Ivy yang tak terbaca oleh Airlangga. Dan
jantung Airlangga yang berdetak lebih cepat tidak bisa didengar oleh Ivy. Mobil
melaju dan Ivy tetap membisu.
“Gue udah lama kenal sama elo tapi baru
sekarang aja tau segala macem tentang elo, itupun dari Naomi...” Airlangga
memulai percakapan. Ya, memang mereka sudah lama saling mengenal melalui
kegiatan kampus dan kenapa justru Naomi yang bercerita tentang dirinya?
Sebenarnya sudah sejauh apa hubungan Naomi dengan Airlangga?
Ivy mengepalkan tangan dan menatap keluar jendela.
Wajahnya memanas.
“Naomi bilang lo suka beladiri, basket,
balapan, tapi pas udah kuliah lo males maen basket ya, gue juga suka basket.
Kenapa kita ga main basket bareng aja” Airlangga menoleh Ivy. Ivy hanya
mengusap rambut cepaknya dengan gaya kesal. Kemudian berkedip sambil menyabar
nyabarkan hati.
“Gue nggak suka elo deket deket Naomi” kata
Ivy tanpa tedeng aling aling. Ailangga langsung mengerutkan kening.
Konsentrasinya ke jalan raya terpecah.
“Kenapa?”
“Lo macarin Naomi?” pertanyaan Ivy terkesan
menyelidik. Sebenarnya dia bukan orang yang mau ikut campur urusan orang lain,
tapi entah kenapa dia sangat ingin tahu hubungan Airlangga dengan Naomi. Sampai
sejauh mana mereka berteman.
“Nggak”
“Tapi berniat?”desak Ivy lagi. Airlangga
mulai kebingungan hingga tidak sanggup menjawab.
“Turunin gue disini Ngga”
“Apa?”
“Gue bilang turunin gue disini!”
“Vy, ini lagi ujan”
“Gue nggak nerima kata nggak! Berhentiin
mobilnya Ngga, ato gue loncat”
“Oke! Oke, gue turutin mau lo, tapi gue
pingin tau alasan lo kenapa musti kayak gini?”
“Lo nggak perlu tau alasannya” jawab Ivy
setelah terdiam sejenak.
“Lo benci sama gue?” tanya Airlangga sambil
melihat spion. Jalanan lengang, sepi, hujan makin deras dan ada rasa tidak rela
menyergap hatinya jika harus membiarkan Ivy turun disini berhujan hujanan untuk
berjalan sampai rumah.
Airlangga menatap Ivy dalam dalam, tapi Ivy tetap
bungkam.
“Bilang Vy, elo benci sama gue sampe sampe
gue nggak boleh temenan sama sahabat elo?”
Mobil menepi, Ivy segera beranjak keluar dan berjalan
dengan begitu cepat. Tidak ada yang bisa dilakukan Airlangga, mengikuti langkah
Ivy bukanlah hal yang bagus, bisa bisa gadis itu makin murka dibuatnya.
Airlangga terpaku, tercenung lama, mencari jawaban.
***
Ivy
menatap bayangannya sendiri di cermin yang tergantung diatas wastafel. Kenapa
perasaannya galau seperti ini? Ditambah lagi diluar rintik rintik gerimis turun
dengan tenang.
Dia cepat cepat keluar dari toilet dengan membawa sebuah
pertanyaan yang sejak dahulu menyerbunya. Apakah benar Tuhan menempatkan
jiwanya pada tubuh yang salah? Andai saja dia terlahir sebagai laki laki
mungkin tidak ada kegundahan dan kegalauan seperti ini. Tidak akan ada rasa
bersalah karena merasakan sesuatu yang tidak lazim. Yang yang terpenting, dia
tidak akan ditinggalkan ayahnya. Ayah menginginkan anak laki laki dan dia
terlahir perempuan.
“Angga lucu deh, kemaren dia nyeritain
adeknya... lucu” Naomi langsung menyergapnya dengan cerita tentang Airlangga. Ivy
jengah. Dia terus berjalan dikuntit oleh Naomi yang terus menyambung cerita.
“Lo mau pulang Vy?” tanya Naomi. Ivy tidak
menjawab, hanya mengangguk. Dia berjalan lurus tanpa menghiraukan panggilan
Naomi.
Lama sudah Ivy tidak pernah berjalan dibawah gerimis. Ivy
selalu merasa gerimis bisa meluruhkan beban di hatinya. Kali ini Ivy tidak
menunggu di halte, tapi terus berjalan ke timur ke arah rumahnya di bawah
gerimis kecil yang dingin. Jalanan sedikit lebih lengang daripada biasanya,
gerimis masih menghantam bumi. Pejalan kaki disekelilingnya membawa payung
sedangkan dia sendiri nekat menantang gerimis.
“Ivy!!!!” seseorang berseru. Ivy berhenti
tanpa menoleh karena dia mengenal suara itu. Airlangga yang sedang berada di
kios tambal ban bersama seorang temannya.
“Lo kenapa ujan ujanan gini?” Airlangga
mendekatinya tanpa peduli dia akan jadi basah karena gerimis.
“Gue udah lama nggak jalan dibawah gerimis”
kata Ivy pelan. Dia menatap Airlangga dihadapannya. Ingin sekali melenyapkan
Airlangga.
Mereka berpandangan seolah ingin menerjemahkan isi hati
masing masing.
“Gue pengen nanya Vy, lo bener bener benci
sama gue? Kenapa?”
“Ngga, gue nggak pengen ngomongin itu. Gue
pusing”
“Vy, plis, gue pengen denger kenapa elo nggak
suka gue deket deket Naomi?”
“Gue bilang, gue nggak pengen ngomongin itu.
Denger lo?” Ivy menuding dengan tidak sopan. Airlangga mencoba bersabar dan
mengatur nafasnya.
“Kalo boleh jujur Vy, gue suka sama elo. Gue
jatuh cinta sama elo. Lo nggak bisa liat selama ini gue sayang sama elo?”
Ivy terperangah. Bibirnya setengah terbuka dan entah tiba
tiba saja gerimis menjelma hujan. Mereka kebasahan sekaligus merasa dingin tapi
Ivy tidak berniat untuk berteduh.
“Gue sayang sama elo Vy” kata Airlangga lagi
seolah dia tidak bosan bosan mengungkapkan perasaannya. Yang tidak mereka
ketahui adalah Naomi ada pada jarak sepuluh meter dari mereka, di balik sebuah
pohon dan mencoba mendengarkan semuanya dengan airmata yang sudah meleleh sejak
Airlangga mengatakan betapa dia menyayangi Ivy. Jadi selama ini bukan Naomi kah
yang dia sayang?
Naomi terisak pelan saat merasakan betapa hatinya
terluka. Dari tempatnya berdiri dia mencoba mengintip bagaimana Ivy merasa
gusar diperlakukan seperti itu. Dia hanya bertanya tanya kenapa harus Ivy,
sahabatnya sendiri yang menarik perhatian orang yang dia cintai.
Ivy mendorong Airlangga untuk menjauh darinya. Dia
menggelengkan kepala. Bukan Airlangga yang dia mau. Sungguh mati bukan
Airlangga yang dia inginkan.
“Naomi yang suka sama elo, ngerti? Bukan
gue!” Ivy setengah berseru.
“Tapi gue nggak jatuh cinta sama Naomi, tapi
sama elo Vy” Airlangga masih maju selangkah.
Ivy merasa semua kacau, dan hujan memperburuk situasi.
Hatinya berteriak menghujat Tuhan yang membiarkannya jatuh dalam kekacauan ini.
Perempuan. Iya, Ivy benar benar sadar sekarang bahwa dia
adalah seorang perempuan dan ada seorang lelaki yang menginginkannya. Tapi
bukan itu yang dia mau. Hatinya sudah terpasung dalam tepi keindahan perempuan
lain. Perempuan terindah yang selalu tersenyum dengan sudut bibir malu malu dan
kedip mata yang mempesona.
“Lo pengen tau kan, kenapa gue nggak suka elo
deket deket Naomi?”
Airlangga menyimak. Sepertinya dia akan tahu kenapa Ivy
selalu bersikap kurang baik terhadapnya.
“Gue nggak suka elo ngerebut Naomi dari gue!
Gue sayang sama Naomi, gue cinta sama Naomi lebih dari sahabat. Dan gue benci
jadi cewek karena gue pasti nggak akan bisa sama Naomi. Denger kan? Gue bukan
cewek yang elo mau Ngga, lo pasti jijik sama gue”
Airlangga menunduk. Tangis Naomi di balik pohon itu makin
menderas sederas hujan ini. Sedangkan Ivy merasakan gemetar pada lututnya,
dinginnya hujan, tatapan mata Airlangga, keinginannya memiliki Naomi, seolah
olah menjadi racun dalam jantung merahnya.
“Jauhin gue Ngga, lo nggak bener bener pengen
sama gue” Ivy mundur dua langkah. Dia harus segera menghilang dari hadapan
Airlangga. Langkahnya menuruni trotoar, menyebrang dengan begitu sembrono.
“Gue tetep sayang sama elo Vy...”
Mengetahui tangan Airlangga sudah terulur hendak
menyambut tangannya, Ivy mempercepat langkah setengah berlari. Saat itulah
klakson sebuah mobil melengking nyaring ketika Ivy turun ke jalan. Lampu mobil
membuat mata Ivy silau.
“Ivy! Bahaya!” Airlangga menyusul, hendak
menyambar tubuh Ivy dan menghindarkannya dari maut tapi terlambat. Andai dia
tidak terlambat tiga detik saja, mungkin benturan keras itu tidak akan terjadi.
Naomi memekik ketika dua tubuh itu terpental menghantam aspal.
Mobil itu terhenti. Ivy tergeletak dengan kepala
bersimbah darah bersama Airlangga yang masih bergerak menautkan tangannya
dengan tangan Ivy. Darah mereka bersatu dengan air hujan dan airmata Airlangga.
Airlangga berharap Ivy masih bergerak tapi nyatanya gadis itu sudah tidak lagi
bernafas. Semuanya terasa kosong dan sakit. Lalu gelap.
Tubuh mereka diserbu kerumunan masa, tangis Naomi kian
hebat kala menyaksikan keduanya dijemput maut. Naomi berteriak sekuatnya,
menyeruak kerumunan dan memanggil manggil nama Ivy dan Airlangga. Berharap
mereka akan bangun lagi atau setidaknya ini hanya mimpi. Sayangnya bukan, ini
bukan mimpi karena tidak akan pernah ada yang membangunkannya.
Naomi
menyaksikannya sendiri, bagaimana dua anak manusia itu tersambar kendaraan roda
empat dan darah muncrat dimana mana. Naomi terduduk dengan tangis yang belum
berhenti. Tangannya menyentuh tangan Ivy yang mendingin. Tidak akan ada lagi
Ivy yang selalu melindunginya, tidak akan ada lagi Airlangga yang selalu
dinantinya dengan kisah kisah lucunya.
Perempuan terindah yang selalu diinginkan Ivy itu
membiarkan airmatanya terus menderas luruh dengan hujan bersama cintanya.
***
Komentar
Posting Komentar