Menggugat Paradigma Diknas Kritik terhadap 'kesesatan' Sistem Persekolahan
|
I. Menggugat Doktrin Sekolah
Sejak kali pertama diterapkan di Nusantara pada tahun 1900 melalui kebijakan politik pemerintah kolonial Belanda yang disebut Etische Politiek, sistem persekolahan (schooling system) diasumsikan sebagai sistem pendidikan elit Barat yang berhubungan dengan modernitas, transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, intelektualitas, kemajuan, kesuksesan, status sosial dan ekonomi, ketersediaan lapangan kerja, perubahan, dan kemapanan.
Seiring dengan semakin banyaknya anak-anak pribumi dibentuk di berbagai lembaga
pendidikan yang menerapkan sistem persekolahan, semakin kuat dan semakin mengakar asumsi tentang sekolah sebagai sistem pendidikan elit Barat sampai terbentuk paradigma berpikir hegemonik, yang tidak saja melestarikan superioritas Barat di satu pihak dan inferioritas pribumi di pihak lain, melainkan pula telah menimbulkan pemberhalaan terhadap sistem tersebut. Fakta menunjukkan - bagian terbesar bangsa Nusantara yang rata-rata lulusan sekolah - mensyaratkan bersekolah sebagai bagian dari proses pendewasaan dan pembudayaan yang wajib dilalui setiap anak sebelum mereka memasuki kehidupan riil. Mereka yg tidak terproses dalam pendidikan di sekolah diasumsikan akan jadi manusia bodoh, miskin, tidak terdidik, tidak bisa memperoleh pekerjaan, akan jadi gelandangan yang sengsara dan dihinakan masyarakat.
Ditinjau dari satu sisi, sebenarnya sistem persekolahan bukanlah sekedar sistem belajar-mengajar dalam kaitan dengan proses transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan lebih dari itu sistem persekolahan meliputi pula proses penciptaan ilusi-ilusi, asumsi-asumsi, gambaran-gambaran, gagasan-gagasan, konsep-konsep, nilai-nilai, ide-ide, doktrin-doktrin, dan impian-impian yang mengarahkan dan memberikan pengertian tentang kontinuitas dan tujuan untuk apa sistem itu dibentuk. Menurut Neil Postman (1995) sekolah, dalam pengertian yang terkandung dalam kata yang digunakan, adalah sebuah narasi besar yang memiliki kredibilitas, kompleksitas, kekuatan, dan hegemoni simbolik yang mampu mengatur dan mengarahkan orang-orang yang terproses di dalamnya. Selanjutnya Neil Postman menggambarkan sekolah sebagai agama baru dengan pengkhotbah-pengkhotbah utama seperti Rene Descartes, Francis Bacon, Galileo Galilei. Isaac Newton, Charles Darwin, Herbert Spencer, John Dewey, Talcott Parson, Stephen Hawking, dsb.
Kuat dan mengakarnya doktrin persekolahan di kalangan pribumi Nusantara yang terdidik di sekolah, sedikitnya terbukti dengan dibakukannya tafsir tunggal bahwa sistem persekolahan adalah sama dan identik dengan sistem pendidikan nasional, di mana dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat 3 yang berbunyi "pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional" ditafsirkan sebagai pengabsahan penyelenggaraan sekolah sebagai satu-satunya sistem pendidikan nasional. Mengasumsikan sekolah sama dan identik dengan pendidikan, pada dasarnya adalah kesesatan fundamental dalam pemaknaan terhadap sesuatu sebagaimana kesesatan memaknai belajar sama dan identik dengan bersekolah. Dan kesesatan itu makin menyesatkan ketika kalangan pendidik di lingkungan sekolah formal dan masyarakat memaknai program wajib belajar yang dicanangkan rezim Orde Baru sebagai program wajib bersekolah. Ini kesesatan paradigmatik yang berdampak luas pada pemaknaan esensial terhadap hakikat pendidikan selanjutnya.
Selama seabad sejak sistem persekolahan dikenalkan di Nusantara oleh pemerintah kolonial Belanda, banyak hal yang terkait dengan persekolahan telah menjadi sesuatu yang biasa dan dianggap sebagai keniscayaan aksiomatik. Hampir tidak ada seorang pun yang menggugat keabsahan baik struktur sistem persekolahan, filsafat positivisme yang mendasari sistem persekolahan, relevansi jenjang-jenjang persekolahan dan gelar kesarjanaannya dengan realitas kebutuhan riil, dampak buruk pendekatan pedagogi, signifikansi kurikulum formal dengan kebutuhan riil, sistem seleksi, dogmatika sertifikasi, ketiadaan etika belajar-mengajar, otoritas guru, sampai menjadikan sekolah sebagai komoditas perdagangan. Sekolah benar-benar sudah diidentikkan dengan pendidikan, di mana hanya mereka yang bersekolah saja yang disebut sebagai orang berpendidikan sehingga orang-orang yang tidak pernah terproses di sekolah dianggap sebagai orang-orang yang tidak berpendidikan. Bahkan akibat kuatnya hegemoni doktrin persekolahan dalam wacana penalaran masyarakat Nusantara, hampir semua orang memandang bahwa sistem persekolahan itulah satu-satunya sistem pendidikan yang ada di dunia.
Dewasa ini, sekolah sebagai satu-satunya wahana pendidikan yang wajib dimasuki setiap warganegara dalam usaha mencapai kedewasaan untuk bisa hidup di dunia riil telah jauh dari harapan. Sekolah telah kehilangan makna sebagai wahana pendidikan yang dibutuhkan masyarakat. Berbagai problem krusial yang meletup di tengah masyarakat seperti urbanisasi, pengangguran, white collar crime, kekerasan, anarkisme, dekadensi moral, sadisme, bahkan disintegrasi bangsa seolah mengalir dari lembaga-lembaga pendidikan yang menerapkan sistem persekolahan. Apakah sesungguhnya yang telah terjadi dengan dunia pendidikan nasional kita yang menerapkan sistem persekolahan? Kenapa pakar pendidikan seperti Ivan Illich meluncurkan buku berjudul Deschooling Society, Everett Reimer meluncurkan buku berjudul The End of School, Paulo Freire meluncurkan buku berjudul Pedagogy of the Oppressed, Neil Postman meluncurkan buku berjudul The End of Education, yang semuanya dengan sinis mengkritik praktek-praktek pendidikan yang menganut sistem persekolahan yang tidak manusiawi?
II. Mengungkap Kesesatan Sistem Persekolahan
Penilaian berlebihan terhadap paradigma sistem persekolahan, telah membutakan masyarakat dari realitas obyektif dalam memandang sesuatu. Masyarakat yang terhegemoni doktrin persekolahan cenderung memandang realitas sekolah sebagai sebuah sistem yang sempurna tanpa celah, sehingga dari waktu ke waktu sistem persekolahan dijadikan wahana satu-satunya dalam penyelenggaraan pendidikan. Padahal, ditinjau dari pandangan yang obyektif dan realistis, sistem persekolahan dalam praktek penyelenggaraannya menunjukkan kelemahan-kelemahan dan kecenderungan-kecenderungan menyesatkan yang merugikan mereka yang terproses di dalamnya. Beberapa kelemahan dan kecenderungan menyesatkan dari sistem persekolahan, dapat dikemukakan sebagai berikut:
II.1. Penopang Hegemoni Barat
Sekolah sebagai sebuah sistem warisan kolonial, meminjam pandangan Ashis Nandy dalam The Intimate Enemy (1983) dapat dimaknai sebagai wahana penaklukan pikiran dan budaya oleh penjajah terhadap masyarakat terjajah. Menurut Nandy, ketika Eropa mendakwahkan ide-ide pencerahan, liberalisme, dan modernitas ke wilayah jajahannya, pada saat yang sama mereka memperkukuh genggaman kuasanya melalui ide-ide yang mengarah kepada superioritas Barat. Fakta di negara-negara dunia ketiga termasuk Nusantara menunjuk, pembentukan mentalitas dan nalar berpikir elit terjajah yang berlangsung selama mereka dididik di sekolah-sekolah yang disediakan penjajah, selain transfer ilmu pengetahuan dan teknologi juga terjadi ideologisasi yang mengacu pada superioritas Barat, yang membentuk konstruksi pengetahuan dan kesadaran berfikir para lulusan sekolah dengan nalar akademis modern yang menempatkan Barat di posisi atas dari struktur sosio-kultural-ekonomi dan terutama teknologi. Melalui sekolah-sekolah warisan kolonial itulah, Barat menghegemoni kerangka pandang masyarakat di negara-negara bekas jajahan seperti Indonesia, di mana berbagai pandangan, ideal, gagasan, konsep, dan nilai-nilai yang difahami kalangan elit lulusan sekolah nyaris dimaknai seutuhnya dengan sudut pandang Barat. Barat seolah menjadi kiblat percontohan yang paling sempurna, sehingga segala sesuatu yang tidak sesuai dengan parameter Barat dianggap tidak beradab, otoriter, tidak demokratis, tidak ilmiah, tidak rasional, despotik, tiranik dan sebagainya.
Penaklukan pikiran dan budaya yang dilakukan pihak penjajah terhadap pihak yang dijajah yang disebarkan lewat sekolah-sekolah, terbukti masih mengukuhkan struktur masyarakat kolonial yang menempatkan masyarakat kulit putih di posisi paling atas dari struktur, masyarakat timur asing di posisi tengah dan pribumi di posisi terbawah yang diberlakukan sejak 1 Mei 1848. Struktur kolonial ini tidak saja membawa akibat tetap lestarinya inferioritas inlander, melainkan telah menciptakan pula ketidak-mampuan pribumi untuk membangun wacana independen yang mandiri, di mana hal itu menjadikan pribumi hanya mampu meniru (mimicry) segala sesuatu yang dicontohkan penjajahnya (Bhabha, 1997). Ini berarti, semakin banyak pribumi terjajah mengikuti proses belajar-mengajar di sekolah, semakin kuat mereka melestarikan sistem nalar dan sistem sosial budaya kolonial, yang membawa akibat terperangkapnya alumnus sekolah ke dalam mentalitas inlander yang diwariskan penjajah.
Salah satu konsekuensi logis dari penyelenggaraan sekolah, adalah selain terjadinya transformasi sistem pengetahuan juga transformasi sistem social budaya Barat. Fakta menunjuk bahwa akibat proses penerapan sistem persekolahan dalam pendidikan nasional, lahirlah produk-produk budaya baru yang berciri khas Barat yang menjadi unsur utama bagi tegaknya bangunan sistem kehidupan bangsa Indonesia. Dari sekolahlah bangsa Indonesia mengenal dan mengikuti sistem baku komunikasi Barat (aksara, angka, bahasa), sistem pendidikan (schooling system), sistem sosial (Barat, Timur Asing, Inlander), sistem pengukur waktu (kalender Barat), sistem pengukur satuan benda (berat, isi, jenis, bentuk, satuan versi Barat), sistem pengukur tanah (panjang, lebar, luas versi Barat), sistem alat tukar (mata uang Barat), sistem administratif kewilayahan (versi kolonial Barat), system ekonomi, sistem etika pergaulan (system diskriminan Barat), sistem baku hukum positif (KUHP, administrasi hukum Barat), filsafat Barat, sistem religi Barat, sistem tatanegara Barat, Gaya Hidup Barat, dsb. Kalangan elit terdidik Indonesia hasil didikan sekolah, tidak sedikit pun memiliki sikap kritis terhadap Barat dalam konteks tersebut. Sebaliknya, mereka menjadi subordinat dari budaya Barat sehingga tidak memiliki kemandirian dan otentisitas dalam membangun wacana dan gerakan budaya. Sebagai akibat dari proses pem-Barat-an ini, bangsa Indonesia dewasa ini mengalami apa yang disebut sosiolog Emile Durkheim sebagai anomie.
II.2. Filsafat Positivisme dan Dampaknya
Filsafat positivisme rintisan Auguste Comte yang dijadikan landasan pendidikan yang mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi di sekolah, tegak di atas landasan sekulerisme, empirisme, materialisme, rasionalisme. Sebagaimana filsafat positivisme, sekolah yang tegak di atas landasan tersebut memandang perkembangan pengetahuan manusia melewati tiga tahapan evolutif sebagai keniscayaan. Pertama, tahap teologis di mana manusia percaya bahwa di belakang gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala tersebut. Tahap teologis ini dibagi atas tiga periode, yaitu periode animisme, politeisme dan monoteisme. Kedua, tahap metafisika di mana kuasa-kuasa adikodrati diganti dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip abstrak seperti, misal, kodrat, takdir, penyebab. Metafisika dijunjung tinggi pada tahap ini. Ketiga, tahap positif di mana manusia tidak lagi mencari sesuatu di balik fakta. Atas dasar observasi dan penggunaan rasio manusia berusaha menetapkan relasi-relasi persamaan yang terdapat antar fakta-fakta.
Bertolak dari batasan definitif pengetahuan faktual sebagaimana dikemukakan Auguste Comte yang menjadi landasan utama dogma pengetahuan ilmiah yang berlaku di dalam sistem persekolahan itu, dapat dikata bahwa harapan untuk menjadikan sistem persekolahan sebagai Sistem Pendidikan Nasional yang bisa meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana amanat UUD 1945 hasil amandemen Pasal 31 ayat 3 akan menjadi sia-sia. Hal itu berkaitan langsung dengan kenyataan, bahwa keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia adalah produk dari pembelajaran yang bersifat normatif yang bersumber dari nilai-nilai agama. Sementara dogmatika pengetahuan ilmiah yang diajarkan di sekolah menganut prinsip dogmatika obyektif imparsial dan netralitas etik, yang menurut Hidayat Nataarmadja dalam Ilmu Humanika (1984) adalah prinsip dogmatika yang akan membawa manusia modern ke arah krisis moral dan krisis tanggung jawab. Sejarah membuktikan, bagaimana dari lembaga pendidikan yang menerapkan sistem persekolahan tidak saja telah melahirkan aliran-aliran pemikiran sekuler seperti ateisme, nihilisme, pragmatisme, humanisme, liberalisme, post modernisme yang bertentangan dengan agama, tetapi juga menimbulkan krisis moral dan krisis tanggung jawab di kalangan masyarakat yang terproses di dalam sistem persekolahan tersebut.
II.3. Struktur Piramida Sekolah dan Dampaknya
Struktur sistem persekolahan yang berjenjang membentuk piramida, ternyata potensial membentuk tatanan bersifat formal yang cenderung sulit dibedakan dengan tatanan riil kalau tidak malah berjalin-berlindan dengan tatanan absurd. Struktur paling rendah dari sistem persekolahan yang diisi oleh strata masyarakat lulusan sekolah dasar, dalam asumsi persekolahan akan diikuti oleh lapisan strata yang lebih tinggi yaitu sekolah lanjutan pertama disusul sekolah lanjutan atas sampai yang tertinggi lapisan masyarakat bergelar doktor dan profesor. Pada perkembangan selanjutnya, struktur terendah dari system persekolahan bukanlah sekolah dasar, melainkan Taman Kanak-kanak, yang disusul oleh PAUD dan TPA.
Yang menyedihkan, pada setiap lapisan struktural terendah dan menengah, berkembang lembaga-lembaga penunjang pembelajaran mdalam bentuk kursus-kursus, les tambahan dan bimbingan-bimbingan belajar yang tidak murah biayanya. Masyarakat yang umumnya kurang bisa membedakan aspek formal dan aspek riil, cenderung menerima begitu saja struktur piramida sekolah dengan berbagai permasalahannya sebagai keniscayaan. Kenyataan ini mendorong masyarakat untuk berlomba mendaki jenjang demi jenjang piramida sekolah, dengan harapan dapat mencapai puncak piramida yang diasumsikan sebagai tempat persemayaman "dewa-dewa" pemilik kebenaran akademik.
Bagi mereka yang mampu memilahkan dengan tegas antara aspek formal dan aspek riil dari sistem yang dibentuk sekolah, akan segera mendapati kenyataan bahwa semakin lama orang terproses di dalam sistem persekolahan yang berarti semakin tinggi orang seorang mendaki piramida sekolah, maka semakin butalah orang tersebut terhadap realitas faktual. Fakta menunjuk, para profesor dan doktor yang menempati puncak piramida sekolah, ternyata tidak pernah menunjukkan bukti kemampuan prestasi yang tinggi ketika dituntut bersaing dalam segala hal di dalam kehidupan riil. Hal itu terjadi, karena semenjak masuk Taman Kanak-kanak sampai lulus program doctor (S-3), peserta didik lebih banyak terproses di sebuah ruangan yang disebut kelas, tempat belajar yang sama sekali jauh dari realita.
II.4. Pendidikan Kolektif Pencetak Kawanan
Salah satu ciri pendidikan bersistem persekolahan adalah terjadinya usaha-usaha penyeragaman yang menjadikan peserta didik terbentuk sebagai mentalitas kawanan. Hal itu ditunjang pula oleh struktur piramida berjenjang sekolah yang harus dilewati oleh para peserta didik secara bersama-sama. Proses pendidikan anak-anak berdasar kelompok usia yang sama di bawah bimbingan guru untuk mempelajari kurikulum berjenjang, mensyaratkan adanya keseragaman waktu dan tempat serta pikiran dalam menyelesaikan tiap jenjang kurikulum. Tanpa mempertimbangkan potensi kecerdasan maupun kekurang-cerdasan peserta didik, syarat mutlak yang harus dipenuhi adalah rentang waktu yang ditetapkan untuk menyelesaikan tiap jenjang. Peserta didik yang ingin naik jenjang - sekalipun cerdas melebihi teman-temannya - wajib menunggu waktu satu tahun.
Penyeragaman penampilan fisik peserta didik yang terjadi sejak tingkat dasar (celana, baju, topi, sepatu, kaos kaki, badge), berjalan seiring dengan penyeragaman paradigma, dogma, doktrin, dan mitos atas semua mata pelajaran yang disampaikan di sekolah. Proses penyeragaman ini, menjadikan peserta didik seperti masuk ke dalam kamp konsentrasi untuk diindoktrinasi dengan pandangan-pandangan menyesatkan tanpa diberi kesempatan mengkritik, sehingga selama pelajaran berlangsung peserta didik kehilangan cakrawala optik alternatif, karena sudut pandangnya diarahkan kepada fokus seperti kuda diberi penutup mata. Keadaan ini memberikan dampak serius bagi melemahnya daya kreatif peserta didik, karena guru yang berperan seperti sipir penjara akan marah jika dikritik, menolak jika ada usulan, membentak dan bahkan memukul jika peserta didik dianggap melakukan kesalahan.
Penyeragaman yang lebih parah terjadi pada saat diselenggarakan ujian nasional, di mana jawaban-jawaban atas soal-soal yang diujikan harus sama jawabannya secara nasional. Ini memberi pengaruh bagi terbentuknya peserta didik yang berpikir linier dan cenderung textbook thinking serta buta terhadap realitas. Keadaan itu menunjuk pada kecenderungan sistem persekolahan untuk mencetak lulusan bermental ambigu, di satu sisi menjadi orang yang bermental kawanan dengan kemampuan seragam tetapi di sisi lain sangat individualistik jika berkaitan dengan kepentingan pribadi masing-masing lulusan. Seluruh lulusan sekolah, misal, secara seragam akan berbaris menuju ke lembaga-lembaga pemerintah dan swasta untuk mengikuti seleksi penerimaan tenaga kerja. Selama berbaris menunggu seleksi itu, masing-masing pribadi lulusan sekolah akan berusaha untuk lulus seleksi dengan berbagai macam cara untuk mengalahkan pesaingnya. Demikianlah, lulusan sekolah yang dididik sebagai kawanan tetapi individualis itu, tidak memiliki cakrawala optik alternatif selepas lulus sekolah selain berbaris mengantri untuk bisa masuk ke dalam lembaga-lembaga yang membutuhkan pekerja.
II.5. Pedagogi dan dampaknya
Dengan semakin kuatnya pendekatan pedagogi diterapkan di dalam sistem persekolahan, akan lahir lulusan-lulusan yang tidak mampu mengatasi tantangan secara dewasa. Sebab lulusan-lulusan itu tidak mampu menghadapi tantangan hidup di dunia riil. Mereka seperti kera-kera yang selama bertahun-tahun dididik di lingkungan sirkus, akan menjadi kebingungan dan tak berdaya ketika dilepas ke tengah hutan untuk menghadapi habitat riilnya yang sebenarnya. Demikianlah, semakin tinggi orang seorang melampaui jenjang struktur piramida persekolahan, akan semakin jauh orang tersebut dari kenyataan kehidupan riil. Dan hanya karena kebijakan politis pemerintah saja yang memungkinkan orang tersebut dapat menduduki posisi tinggi di dalam struktur formal tatanan yang dibentuk pemerintah
Pendekatan pedagogi yang bermakna ilmu mengasuh anak yang diterapkan di dalam sistem persekolahan, dalam perkembangannya telah menciptakan lulusan-lulusan yang kekanak-kanakan, permisif, bersudut pandang monolitik, bermental kacung, tidak mampu membangun wacana independen yang mandiri, selalu membutuhkan bantuan orang lain dalam menghadapi tantangan. Dengan pendekatan pedagogi, para guru, dosen, guru besar di tiap jenjang struktur sekolah akan memperlakukan peserta didik seperti anak-anak. Mereka menuntut kepatuhan mutlak peserta didik atas semua pelajaran yang mereka indoktrinasikan. Hasilnya, makin tinggi jenjang yang dinaiki peserta didik, maka akan semakin permisif sifatnya dan terfokus cakrawala optiknya pada bidang ilmu yang ditekuninya sampai tidak mengetahui kenyataan yang terdapat di dunia riil yang melingkunginya.
II.6. Pencetak Tenaga Buruh
Atas dasar alasan memenuhi tuntutan pasar kerja, pemerintah membuka sekolah-sekolah kejuruan yang menggunakan slogan link and match, yakni menghubungkan dan menyesuaikan kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah kejuruan dengan kebutuhan industri modern. Output dari pendidikan kejuruan berslogan link and match itu, tidak lain dan tidak bukan adalah mencetak lulusan-lulusan sekolah kejuruan sebagai buruh industri yang bertugas utama melayani mesin-mesin produksi milik perusahaan MNC (Multi National Corporated) dan TNC (Trans National Corporated). Pendidikan berorientasi penciptaan tenaga buruh inilah salah satu faktor yang digugat oleh Bung Karno dalam pleidoi pembelaan di pengadilan Bandung pada tahun 1930, yang termasyhur dengan sebutan Indonesia Klaagt aan - Indonesia Menggugat.
Tidak bisa diingkari bahwa maraknya pertumbuhan industry berteknologi tinggi yang umumnya milik pemodal asing itu di satu sisi membutuhkan tenaga buruh yang mampu mengoperasionalkan mesin-mesin industrinya. Itu sebabnya, dibutuhkan lembaga-lembaga pendidikan pencetak tenaga buruh yang bersedia dibayar murah. Demikianlah, kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah kejuruan dirancang sedemikian rupa untuk mencetak tenaga-tenaga buruh bermental buruh, yang bersedia dipekerjakan di mana pun dengan upah rendah.
II.7 Educationomic Sebagai Dampak Negatif Doktrin Sekolah
Semakin kuatnya masyarakat tercekam oleh doktrin persekolahan yang sudah memberhala, ternyata membawa dampak yang sangat merugikan masyarakat sebagai pengguna jasa sekolah. Pada saat masyarakat meyakini bahwa bersekolah adalah syarat utama untuk bisa hidup layak di dunia modern, para penyelenggara sekolah memanfaatkan keyakinan membuta itu untuk mengeruk keuntungan pribadi sebesar-besarnya. Sekolah yang semula dimaksudkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, berangsur-angsur bergeser menjadi alat untuk mengeksploitasi masyarakat pengguna jasa sekolah. Berbagai aspek yang berhubungan dengan sekolah, diformat sedemikian rupa untuk bisa dijadikan komoditi yang bisa memberikan nilai tambah ekonomi.
Sampai saat ini, semua orang - terutama praktisi pendidikan yang terlibat dalam penyelengaraan pendidikan bersistem persekolahan - belum ada yang secara serius menggugat keberadaan dunia pendidikan yang sudah bergeser menjadi dunia bisnis karena landasan edukasi yang bergeser maknanya menjadi educationomic (educatio = pendidikan; nemein = distribusi), yang bermakna pendidikan yang didistribusikan sebagai komoditi. Masyarakat pengguna jasa sekolah hanya faham bahwa biaya sekolah makin lama makin tinggi tak terjangkau dan makin menguras habis uang masyarakat ketika semua elemen penyelenggara sekolah beramai-ramai ikut berpartisipasi memanfaatkan sekolah untuk menambah keuntungan pribadi masing-masing.
Kegiatan educationomic itu terlihat faktanya dari aktivitas ‘dagang buku pelajaran, dagang LKS, program karya wisata, daftar ulang pada kenaikan kelas, pungutan uang gedung dalam pendaftaran sekolah, program mandiri dalam seleksi penerimaan siswa baru, program setia kawan, kursus-kursus bimbingan sekolah, bahkan yang belakangan marak program peningkatan kualitas sekolah menjadi bertaraf nasional dan internasional, yang sebenarnya lebih merupakan penipuan publik dalam rangka ‘menguras' dana dari masyarakat pengguna jasa sekolah. Tetapi sebesar dan setinggi apa pun biaya sekolah dengan tambahan bermacam-macam pungutan itu dilakukan penyelenggara sekolah, masyarakat tidak mampu berbuat apa-apa bahkan sekedar untuk tawar-menawar masalah biaya. Masyarakat yang sudah terhegemoni kerangka berpikirnya, dengan sukarela atau terpaksa harus menggunakan jasa sekolah, karena masyarakat tidak memiliki alternatif lain mengirim anak-anak mereka ke lembaga pendidikan lain, akibat keyakinan membuta mereka terhadap doktrin persekolahan yang sudah terlalu kuat mencekam jiwa mereka.
III. Telikungan Kapitalisme Global
Globalisasi pada dasawarsa awal tahun 2000 adalah sebuah realitas, di mana kita sekarang ikut menghirup keberadaannya, merasakan konsekuensinya, dan tentu merasakan dampaknya, karena pemerintah RI yang menjadi menjadi tuan rumah KTT APEC di Bogor pada 1994, telah menerima jadwal AFTA 2003 dan CAFTA 2010 dan NAFTA 2015. Hal itu mengandung makna, pemerintah Indonesia telah committed mendukung globalisasi tingkat ASEAN (AFTA) pada 2003 dan globalisasi tingkat Cina-ASEAN (CAFTA) pada 2010 dan tingkat Asia Pasific (AP-FTA) pada 2020 yang diajukan menjadi 2015. Dengan penuh keyakinan, pemerintah Orde Baru saat itu menegaskan lewat pernyataan Presiden Soeharto bahwa,"siap tidak siap, suka tidak suka, kita harus ikut globalisasi karena kita sudah berada di dalamnya."
George Soros dalam On Soros: Staying Ahead of the Curve (1995) menyebutkan bahwa seiring meredanya ketegangan perang dingin (cold war) antara Barat dengan Timur yang ditandai runtuhnya komunisme, terjadi fenomena global tentang bakal lahirnya tatanan baru yang disebut a global open society, yakni tatanan baru masyarakat dunia yang dibangun di atas empat ciri utama: (1) effective competition, yaitu bentuk persaingan di mana situasi nilai dan peluang-peluang selalu berubah; (2) memaksimalkan kebebasan individual dengan membiarkan orang memasuki berbagai pilihan alternatif yang tersedia secara global; (3) hubungan sosial berdasar kontrak sosial di mana individu sebagai nucleus dari struktur masyarakat mengambang secara global tanpa perlu akar tempat berpijak yang mengikat; (4) nilai-nilai hanyalah masalah pilihan seperti orang memilih di tempat mana mau berinvestasi atau berspekulasi.
Alan Touraine dalam Two Interpretation of Social Change (1992) memprediksi bahwa di dalam dunia global, akan terjadi perubahan besar di bidang sosial dan ekonomi, di mana dalam konteks sosial konsep-konsep kehidupan sosial seperti integrasi, kesatuan, persatuan, nasionalisme dan solidaritas akan tenggelam dalam realita sosial dan sekedar menjadi mitos, karena kehidupan sosial menjadi tak lebih dari sebuah arus perubahan terus-menerus yang di dalamnya aktor-aktor individu maupun kolektif tidak lagi bertindak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial, akan tetapi mengikuti strategi masing-masing yang berperan di dalam proses perubahan (kapitalisme global), serta tidak dapat lagi sepenuhnya dikontrol oleh kekuasaan Negara. Jean Baudrillard (1983) memaparkan bahwa di dalam konteks ekonomi yang mengarah ke pasar bebas - sebagaimana diprediksi Alan Touraine -- akan terjadi keterbukaan dan transparansi di mana setiap individu memiliki hak untuk berspekulasi dan mencari keuntungan di dalam ekonomi, di mana jaringan ekonomi global dapat dimasuki oleh apa saja, siapa saja, di mana saja dan kapan saja bahkan oleh berbagai lapisan masyarakat global yang anonym dan invisible, yang dapat berbuat apa pun sesuai keinginan mereka.
Berdasar paparan di muka, jelaslah bahwa fenomena globalisasi - yang diterima penjadualannya oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1994 -- tidak akan dapat diantisipasi secara baik oleh bagian terbesar anak-anak bangsa Indonesia lulusan sekolah formal, karena mereka umumnya belum sadar akan kenyataan yang terpampang di depan mereka. Ibarat air bah yang membanjir akibat bendungan jebol, bagian terbesar masyarakat Indonesia hanya berdiam diri seolah menunggu ditenggelamkan air bah globalisasi karena tidak mampu memberi kontribusi apa-apa terhadap warganegara yang hidup terombang-ambing tanpa daya di tengah keganasan fenomena pasar bebas yang menganut prinsip freefight liberalism dengan sebagaimana disebut Soros a global open society.
Dalam keadaan tidak berdaya menghadapi dan mengatasi arus globalisasi, masyarakat Indonesia dipaksa oleh keharusan fundamental untuk memilih dua alternatif pilihan sebagaimana ditengarai Hasyim Wahid (2000) dalam ungkapan : either you swim or you sink (berenang atau tenggelam). Pilihan itulah yang dalam termonologi Darwinisme disebut dengan istilah: survival of the fittest.Siapkah bangsa kita melakukan survival of the fittest di tengah air bah globalisasi yang ditandai mengalirnya arus barang-barang dan produk-produk yang di dalamnya mengandung energi-energi nafsu duniawiah, keterpesonaan, kesenangan, kegairahan, keterbiusan, dan impian-impian duniawi yang menyesatkan?
Persoalan menghadapi air bah globalisasi bukanlah sekedar persoalan memilih berenang atau tenggelam, melainkan yang paling fundamental adalah apakah sistem pendidikan yang digunakan untuk mendidik, mengajar dan melatih anak-anak bangsa untuk mampu berenang mengarungi gelombang globalisasi sudah sesuai dengan kebutuhan tuntutan global. Dalam konteks ini, pelajaran dan pelatihan berenang hanya mungkin diwujudkan dalam bentuk konsep pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah globalisasi beserta ekses-eksesnya. Sebab pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar dari orang-orang untuk mewariskan kebudayaan yang dimilikinya kepada generasi penerus. Hal itu bermakna, pendidikan merupakan proses penanaman ideal-ideal, gagasan-gagasan, konsep-konsep, pandangan-pandangan, dan nilai-nilai. Bahkan di dalam proses pendidikan, berlangsung proses yang disebut ideologisasi di mana individu-individu dibentuk dalam suatu orientasi sosial agar individu-individu tersebut dapat bertindak struktur yang selaras dengan ideologinya. Menurut Nicos Hadjinocolou dalam Art History and Class Struggle (1978) ideologi tidak saja melingkupi bidang-bidang pengetahuan dan gagasan, melainkan mencakup pula simbol-bimbol, mitos, selera, gaya, fashion, iklan, televisi, media massa, interior rumah, mobil, dan seluruh cara hidup suatu masyarakat.
IV. Masyarakat Butuh Sistem Pendidikan Alternatif
Berdasar paparan di atas yang di satu pihak menjelaskan kecenderungan-kecenderungan menyesatkan dari sistem persekolahan (schooling system) yang diterapkan dalam pendidikan nasional dan di pihak lain realitas globalisasi dengan tantangan-tantangan riilnya, dapat disimpulkan bahwa para lulusan sekolah formal dipastikan tidak akan mampu menghadapi tantangan riil globalisasi. Sebab untuk menghadapi arus deras globalisasi yang membanjir di seluruh aspek kehidupan riil Bangsa Indonesia, dibutuhkan pribadi-pribadi tangguh yang berani dan bermental mandiri yang ditandai keimanan, ketaqwaan, akhlaq mulia, pengetahuan luas, berpikir realistis, berwawasan global, kreatif, inovatif, berkeahlian, berketrampilan, dan berkemampuan adaptasi dengan realitas. Dan pastinya, kriteria pribadi-pribadi semacam itu mustahil bisa dicetak di lembaga pendidikan yang menerapkan sistem persekolahan yang belakangan makin carut-marut.
Akhirnya, di tengah carut-marutnya pendidikan nasional yang menganut sistem persekolahan (schooling system) yang ditopang filsafat positivisme yang sekuler - empirik - materialistik yang biayanya semakin tak terjangkau masyarakat - yang makin lama makin kehilangan kepercayaan masyarakat yang ditandai munculnya fenomena home-schooling dan menjamurnya berbagai jenis pendidikan non-formal - dibutuhkan sebuah konsep pendidikan alternative yang bertujuan menyadarkan masyarakat akan jati dirinya sebagai bangsa berbudaya, yakni sistem pendidikan yang dapat mencetak lulusan-lulusan yang beriman, bertaqwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas, berwawasan global, berkeahlian, berketrampilan, dengan citra diri manusia Indonesia, yang mandiri, kreatif, trampil, tangguh, pantang menyerah dalam menghadapi tantangan riil dalam kehidupan di era global. Dan sistem pendidikan ideal itu, pastinya bukan sistem persekolahan (schooling system) yang sudah terbukti telah membawa Bangsa Nusantara ini ke dalam krisis multidimensi yang mengarah kepada kebangkrutan di segala aspek ini.
Komentar
Posting Komentar